Prestigious title, homeless life, this is me?

Prestigious title, homeless life, this is me? 

Prestigious Degree, Living in Homelessness, the Bitter Reality of an Acehnese Bachelor
By: Irza Azka Amalia *) Higher education is often seen as a bridge to a better life. 

However, ironically, in Aceh the reality faced by graduates of public and private universities often contradicts these expectations. Even though they have obtained a college degree, many of them are trapped in a cycle of unemployment and an unstable life. Scholars in Aceh left campus full of hope. 

They hope that their hard years of studying will result in stable job opportunities and a bright future. 
However, what they find in reverse is a very disappointing situation: there are no job opportunities waiting for them, no guarantee of a better future such as returning to their village to continue the family business such as farming or looking after a shop if there is one. Now that there are many graduates in Aceh, the fields and rice fields are the last port of call. Those who had been trained in various scientific fields had to abandon their ideals and take up the duties of farming, not by choice, but by necessity. 

They are forced to farm to survive and support their families, because there are almost no better job alternatives. 
Why does this happen? Is this a failure of our education system which focuses more on the number of graduates than quality? 

Or, are there other factors such as a lack of government policies that support the transition from college to decent employment? 
The latest data from the Central Statistics Agency (BPS) shows varying levels of open unemployment in various districts/cities in Aceh during the 2021 to 2023 period, with several regions recording worrying figures. For example, Lhokseumawe recorded an open unemployment rate of 8.78 percent in August 2023, down from 11.16% in 2021. 

Meanwhile, Banda Aceh, the provincial capital, had an unemployment rate of 8.03 % in August 2023, down from 8.94 % in 2021. These numbers reflect a significant imbalance between the number of college graduates and the number of jobs available, forcing many graduates to seek alternatives that are often disproportionate to the education they have received. It is a striking paradox that higher education no longer guarantees a stable life or economic advancement for individuals. This condition not only creates individual uncertainty but also results in feelings of frustration and hopelessness. 

By understanding and addressing these gaps, we can hope to change the fate of many undergraduates in Aceh, giving them a better opportunity to make effective use of their education and earn a more dignified and fulfilling life. 
My solution to overcome the unemployment problem in Aceh. One approach that can be taken is to regulate the number of student admissions to universities. However, this must be accompanied by other, more holistic steps to ensure its effectiveness:

Adjustment of Student Admission Capacity: Universities need to adjust student enrollment capacity according to job market needs and economic development potential in the local area. This can be done through evaluation of projected workforce needs in various economic sectors, as well as collaboration between universities, government and other stakeholders. 

Improving the Quality of Education: Focus should be placed on improving the quality of education at universities, not just the number of students admitted. Universities must develop educational programs that are relevant to the demands of the job market, and provide adequate facilities and resources to support effective learning. 

Developing Required Skills: Universities need to identify and develop the skills required by specific industries and economic sectors. This can be done through providing training and certification programs that are integrated with the educational curriculum, as well as through collaboration with industry and other institutions. 

By understanding and addressing this imbalance, it is hoped that we can provide undergraduates in Aceh with a better opportunity to utilize their education effectively and gain a more decent life and be ready to face the challenges of the world of work. 

*)AUTHOR Irza Azka Amalia is a student of the Islamic Communication and Broadcasting Study Program (KPI) UIN Ar-Raniry Banda Aceh. 

Gelar Bergengsi, Hidup Menggelandang, Inilah Aku?
Gelar Bergengsi, Hidup Menggelandang Realita Pahit Sarjana Aceh

Oleh: Irza Azka Amalia *)
Pendidikan tinggi sering dilihat sebagai jembatan menuju kehidupan yang lebih baik.

Namun ironisnya, di Aceh realitas yang dihadapi oleh lulusan universitas negeri maupun swasta kerap kali bertentangan dengan harapan ini. Meskipun gelar sarjana telah diperoleh, banyak dari mereka justru terjebak dalam siklus pengangguran dan kehidupan yang tidak stabil. Para sarjana di Aceh meninggalkan kampus dengan penuh harapan.

Mereka berharap bahwa tahun-tahun keras mereka menimba ilmu akan berbuah peluang kerja yang stabil dan masa depan yang gemilang. Namun terbalik dengan mereka temukan adalah situasi yang sangat mengecewakan: tidak ada peluang pekerjaan yang menanti, tidak ada jaminan masa depan yang lebih baik seperti pulang ke kampung meneruskan usaha keluarga seperti pertanian atau menjaga toko jika ada.
Sekarang banyak sarjana di Aceh, ladang dan sawah menjadi pelabuhan terakhir. Mereka yang telah dilatih dalam berbagai bidang keilmuan harus meninggalkan cita-cita mereka dan mengambil alih tugas sebagai petani, bukan atas dasar pilihan, tetapi karena kebutuhan.

Mereka terpaksa bertani untuk bertahan hidup dan menyokong keluarga, karena hampir tidak ada alternatif pekerjaan yang lebih baik. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah ini merupakan kegagalan dari sistem pendidikan kita yang lebih menitikberatkan pada jumlah lulusan daripada kualitas?

Atau, apakah ada faktor lain seperti kurangnya kebijakan pemerintah yang mendukung peralihan dari bangku kuliah ke lapangan kerja yang layak?
Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat pengangguran terbuka yang variatif di berbagai kabupaten/kota di Aceh selama periode 2021 hingga 2023, dengan beberapa daerah mencatatkan angka yang memprihatinkan. Misalnya, Lhokseumawe mencatat tingkat pengangguran terbuka sebesar 8,78 persen pada Agustus 2023, menurun dari 11,16 % pada tahun 2021.

Sementara itu, Banda Aceh, ibu kota provinsi, memiliki tingkat pengangguran sebesar 8,03 % pada Agustus 2023, turun dari 8,94 % pada tahun 2021.
Angka-angka ini mencerminkan ketidakseimbangan yang signifikan antara jumlah lulusan perguruan tinggi dan jumlah pekerjaan yang tersedia, memaksa banyak sarjana untuk mencari alternatif yang seringkali tidak sebanding dengan pendidikan yang telah mereka peroleh. Ini adalah sebuah paradoks yang mencolok di mana pendidikan tinggi tidak lagi menjamin kehidupan yang stabil atau kemajuan ekonomi bagi individu. Kondisi ini tidak hanya menimbulkan ketidakpastian indivindu tetapi juga mengakibatkan perasaan frustrasi dan keputusasaan.

Dengan memahami dan mengatasi kesenjangan ini, kita dapat berharap untuk mengubah nasib banyak sarjana di Aceh, memberikan mereka kesempatan yang lebih baik untuk memanfaatkan pendidikan mereka secara efektif dan memperoleh hidup yang lebih layak dan memuaskan.
Solusi  dari saya untuk mengatasi masalah pengangguran di Aceh, Salah satu pendekatan yang dapat diambil adalah dengan mengatur jumlah penerimaan mahasiswa di universitas.
Namun, hal ini harus diiringi dengan langkah-langkah lain yang lebih holistik untuk memastikan efektivitasnya:

Penyesuaian Kapasitas Penerimaan Mahasiswa: Universitas perlu menyesuaikan kapasitas penerimaan mahasiswa sesuai dengan kebutuhan pasar kerja dan potensi pembangunan ekonomi di daerah setempat. Hal ini dapat dilakukan melalui evaluasi terhadap proyeksi kebutuhan tenaga kerja di berbagai sektor ekonomi, serta kerjasama antara universitas, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya.

Peningkatan Kualitas Pendidikan: Fokus harus diberikan pada peningkatan kualitas pendidikan di universitas, bukan hanya pada jumlah mahasiswa yang diterima. Universitas harus mengembangkan program-program pendidikan yang relevan dengan tuntutan pasar kerja, serta menyediakan fasilitas dan sumber daya yang memadai untuk mendukung pembelajaran yang efektif.

Pengembangan Keahlian yang Dibutuhkan: Universitas perlu mengidentifikasi dan mengembangkan keahlian-keahlian yang dibutuhkan oleh industri dan sektor-sektor ekonomi tertentu. Ini bisa dilakukan melalui penyediaan program-program pelatihan dan sertifikasi yang terintegrasi dengan kurikulum pendidikan, serta melalui kerjasama dengan industri dan lembaga-lembaga lainnya.

Dengan memahami dan mengatasi ketidakseimbangan ini, diharapkan kita bisa memberikan sarjana di Aceh kesempatan yang lebih baik untuk memanfaatkan pendidikan mereka secara efektif dan memperoleh hidup yang lebih layak dan siap menghadapi tantangan dunia kerja.
*)PENULIS Irza Azka Amalia adalah Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Post a Comment