New Fraud Mode 2024 Stalking Small Children, Parents' Accounts Sold Out

New Fraud Mode 2024 Stalking Small Children, Parents' Accounts Sold Out
Photo: Infographics/ Hacker/ Edward Ricardo

- The development of advanced technology is always directly proportional to the threat of its impact on security. Moreover, nowadays even small children are technologically literate. 
Artificial intelligence (AI), which is predicted to make human life easier in the future, is predicted to also bring security risks. In fact, the target is small children and teenagers. 

Therefore, it is very important for parents to stay informed about the latest cyber threats targeting children so that they can be better protected. 

Experts at cybersecurity company Kaspersky, explore some of the cybercrime trends parents should be aware of in 2024. 

Beware of AI Applications

According to UN research, around 80 percent of young people admit to interacting with AI several times a day. With the development of AI, many lesser-known applications have emerged with seemingly innocuous features, such as editing and modifying photos. 
Recently, for example, a viral photo turned a photo into a Disney Pixar poster. Or, turn photos into anime. 

However, when children upload their images to such apps, they do not know where their photos will be stored and what responsibility they will be used for. 

Additionally, AI applications, especially chatbots, can easily provide content that does not concern age. For example, there are many AI chatbots specifically designed to provide “erotic” experiences. 
Although some children require age verification, this is dangerous because some children may choose to lie about their age and prevention of such cases is not enough. 

Hackers Target Young Gamers

According to the latest online statistics, 91 percent of children aged 3-15 play games on any device. For some games, unmoderated voice and text chat is a big part of the experience. 
As more and more young people access the internet, cybercriminals can build trust in the same way they would in person. 
First, cybercriminals gain the trust of young gamers by luring them with gifts or promises. Once they gain trust, they obtain young gamers' personal information through encouraging them to click on phishing links, and download malicious files disguised as game mods for Minecraft or Fortnite, or even grooming. 

New Threats in the World of Fintech

Currently, many banks provide products and services specifically for children, including banking cards designed for those aged 12 years. However, with the introduction of
banking cards for children, they also become vulnerable to financially motivated threat actors and vulnerable to conventional fraud attacks, such as the promise of a free PlayStation 5 or other valuable assets after entering card details on a phishing site. 
Using social engineering techniques, cybercriminals can exploit children's trust by posing as peers and requesting the sharing of card details or money transfers to their accounts. 

Threats from Smart Home Devices

Despite the increasing number of cases of threats to smart home devices, measures that can prevent potential exploitation of these vulnerabilities are still lacking. 
This opens up opportunities for children to become tools for cybercriminals in carrying out attacks. For example, if a smart device is a surveillance tool and a child is home alone, cybercriminals can contact them through the device and ask for sensitive information such as name, address, and time, when the parents are not home, even the person's credit card number. old. 
In a scenario like this, in addition to device hacking, there is also the risk of loss of financial data or even a physical attack. 

Kids Demand Their Online Space Be Respected

As children grow older, they become more conscious about understanding personal space, privacy and sensitive data, both offline and online. 
As a result, when parents firmly communicate their intention to install digital parenting applications on their devices, not all children will accept this openly. 
This is why parents now need the skills to discuss their children's online experiences and the importance of providing digital applications for online safety while respecting personal space. This involves setting clear limits and expectations and discussing the reasons for using the app with the child in any situation. 

Desire to Download Unavailable Applications

If an app is not available in the country of residence, young users will look for alternatives which are often malicious copies of the app. Even if they turn to official app stores like Google Play, they still run the risk of falling prey to cybercriminals. 
From 2020 to 2022, Kaspersky researchers have discovered more than 190 Harly Trojan-infected apps on Google Play that sign up users to paid services without their knowledge. A conservative estimate of the number of downloads of these apps is 4.8 million, but the actual number of victims may be even higher. 

"It is very important to teach children the basics of cyber security from an early age how not to fall into the traps of cybercriminals, what cyber threats can occur while playing games, and how to properly protect personal data," said Andrey Sidenko , security expertand privacy in Kaspersky. 
"All this is now mandatory knowledge not only for adults, but also for the youngest users," he added. 


Modus Penipuan Baru 2024 Mengintai Anak Kecil, Rekening Ortu Ludes
Foto: Infografis/ Hacker/ Edward Ricardo

 - Pengembangan teknologi canggih selalu berbanding lurus dengan ancaman dampaknya bagi keamanan. Apalagi, saat ini anak kecil saja sudah melek teknologi.
Kecerdasan buatan (AI) yang digadang-gadang akan mempermudah kehidupan manusia di mada depan diramal akan turut membawa risiko keamanan. Bahkan, sasarannya adalah anak kecil dan remaja. 

Oleh karena itu, sangat penting bagi orang tua untuk terus mengetahui informasi tentang ancaman siber terbaru yang menargetkan anak-anak agar mereka dapat lebih terlindungi.

Para ahli di perusahaan keamanan siber Kaspersky, mengeksplorasi beberapa tren kejahatan siber yang harus diwaspadai orang tua di 2024. 

Waspada Aplikasi AI

Menurut penelitian PBB, sekitar 80 persen anak muda mengaku berinteraksi dengan AI beberapa kali sehari. Dengan berkembangnya AI, banyak aplikasi yang kurang dikenal bermunculan dengan fitur yang terlihat tidak berbahaya, seperti mengedit dan memodifikasi foto.
Baru-baru ini yang viral misalnya mengubah foto menjadi poster Disney Pixar. Atau, mengubah foto menjadi anime.

Namun, ketika anak-anak mengunggah gambar mereka ke aplikasi semacam itu, mereka tidak tahu di mana foto-foto mereka akan disimpan dan bagaimana tanggung jawab penggunaan atas foto-foto tersebut.

Selain itu, aplikasi AI, khususnya chatbot, dapat dengan mudah menyediakan konten yang tidak memperhatikan usia. Misalnya, ada banyak chatbot AI yang dirancang khusus untuk memberikan pengalaman "erotis".
Meskipun beberapa anak memerlukan verifikasi usia, hal ini berbahaya karena beberapa anak mungkin memilih untuk berbohong tentang usia mereka dan pencegahan terhadap kasus-kasus tersebut tidak cukup.

Hacker Sasar Gamer Muda

Menurut statistik online terbaru, 91 persen anak usia 3-15 tahun bermain game di perangkat apa pun. Untuk beberapa game, obrolan suara dan teks yang tidak dimoderasi merupakan bagian besar dari pengalaman tersebut.
Dengan semakin banyaknya generasi muda yang mengakses internet, para penjahat siber dapat membangun kepercayaan dengan cara sama seperti yang mereka lakukan secara langsung.
Pertama, penjahat siber mendapatkan kepercayaan dari gamer muda dengan memikat mereka lewat hadiah atau janji. Begitu mendapatkan kepercayaan, mereka mendapatkan informasi pribadi para gamer muda melalui ajakan untuk mengeklik tautan phishing, dan mengunduh file berbahaya yang menyamar sebagai mod permainan untuk Minecraft atau Fortnite, atau bahkan melakukan grooming.

Ancaman Baru di Dunia Fintech

Saat ini sudah banyak bank yang menyediakan produk dan layanan khusus anak-anak, termasuk kartu perbankan yang dirancang untuk mereka berusia 12 tahun. Namun, dengan diperkenalkannya
kartu perbankan untuk anak-anak, mereka juga menjadi rentan terhadap pelaku ancaman yang bermotif finansial dan rentan terhadap serangan penipuan konvensional, seperti janji PlayStation 5 gratis atau aset berharga lainnya setelah memasukkan detail kartu di situs phishing.
Dengan menggunakan teknik rekayasa sosial, penjahat siber dapat mengeksploitasi kepercayaan anak- anak dengan menyamar sebagai teman sebaya dan meminta pembagian rincian kartu atau transfer uang ke rekening mereka.

Ancaman dari Perangkat Smart Home

Meskipun meningkatnya jumlah kasus ancaman terhadap perangkat rumah pintar atau smart home, penanganan yang dapat mencegah potensi eksploitasi kerentanan tersebut masih kurang.
Hal ini membuka peluang bagi anak-anak dapat menjadi alat bagi penjahat dunia maya dalam melakukan serangan. Misalnya, jika perangkat pintar menjadi alat pengawasan dan seorang anak sendirian di rumah, penjahat maya dapat menghubungi mereka melalui perangkat tersebut dan meminta informasi sensitif seperti nama, alamat, dan waktu, ketika orang tuanya tidak ada di rumah, bahkan nomor kartu kredit orang tuanya.
Dalam skenario seperti ini, selain peretasan perangkat, terdapat juga risiko kehilangan data finansial atau bahkan serangan fisik.

Anak-anak Menuntut Ruang Online Mereka Dihormati

Seiring bertambahnya usia, anak-anak makin sadar tentang pemahaman tentang ruang pribadi, privasi, dan data sensitif, baik offline maupun online.
Akibatnya, ketika orang tua dengan tegas mengomunikasikan niatnya untuk menginstal aplikasi digital parenting di perangkatnya, tidak semua anak akan menerima hal tersebut dengan terbuka.
Inilah sebabnya mengapa orang tua kini memerlukan keterampilan untuk mendiskusikan pengalaman online anak-anak mereka dan pentingnya memberikan aplikasi digital untuk keamanan online sambil tetap menghormati ruang pribadi. Hal ini melibatkan penetapan batasan dan ekspektasi yang jelas serta mendiskusikan alasan penggunaan aplikasi dengan anak di situasi apa pun.

Keinginan Download Aplikasi yang Tidak Tersedia

Jika suatu aplikasi tidak tersedia di negara tempat tinggal, para pengguna muda akan mencari alternatif yang sering kali merupakan salinan aplikasi berbahaya. Bahkan jika mereka beralih ke toko aplikasi resmi seperti Google Play, mereka tetap berisiko menjadi mangsa penjahat dunia maya.
Dari tahun 2020 hingga 2022, peneliti Kaspersky telah menemukan lebih dari 190 aplikasi yang terinfeksi Harly Trojan di Google Play yang mendaftarkan pengguna ke layanan berbayar tanpa sepengetahuan. Perkiraan konservatif mengenai jumlah pengunduhan aplikasi-aplikasi ini adalah 4,8 juta, namun jumlah korban sebenarnya mungkin lebih tinggi lagi.

"Sangat penting untuk mengajarkan anak-anak dasar-dasar keamanan siber sejak usia dini bagaimana agar tidak jatuh ke dalam perangkap penjahat dunia maya, ancaman siber apa saja yang dapat terjadi saat bermain game, dan cara melindungi data pribadi dengan benar," kata Andrey Sidenko, pakar keamanan dan privasi di Kaspersky.
"Semua ini kini menjadi pengetahuan yang harus dimiliki tidak hanya oleh orang dewasa, tetapi juga bagi pengguna termuda," imbuhnya.

Post a Comment

0 Comments