Anak Buah Sambo Bongkar Budaya di Polri yang Bikin Sulit Tolak Perintah Atasan


Anak Buah Sambo Bongkar Budaya di Polri yang Bikin Sulit Tolak Perintah Atasan





Terdakwa kasus obstruction of justice pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, AKBP Arif Rachman Arifin, membongkar budaya di institusi Polri yang membuat bawahan sulit untuk menolak perintah atasan.

Arif menyebut ada batasan yang tegas antara bawahan dan atasan di Korps Bhayangkara tersebut.

Hal tersebut Arif sampaikan saat menyampaikan pleidoi atau nota pembelaan dalam persidangan kasus obstruction of justice pembunuhan berencana Brigadir J di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Jumat (3/2/2023).

Awalnya, Arif mengungkit bahwa menolak perintah atasannya, Ferdy Sambo, tidak semudah seperti yang diatur dalam peraturan.

Sebab, antara logika, nurani, dan ketakutan Arif sudah bercampur buntut sikap Ferdy Sambo yang kerap bersikap kasar sejak kematian Brigadir J.

"Sungguh, tidak semudah membaca kalimat dalam peraturan tentang 'menolak perintah atasan'," ujar Arif di ruang sidang, Jumat.

"Tidak semudah melontarkan pendapat, 'kalau saja begini, jika saja begitu, mengapa tidak melakukan ini, mengapa tidak bersikap begitu'," sambungnya.

Arif menjelaskan, ada sebuah budaya di organisasi Polri yang mengakar pada rantai komando.

Maka dari itu, batasan tegas antara atasan dan bawahan di kepolisian terasa begitu nyata.

"Hubungan berjenjang yang disebut relasi kuasa, bukan sekadar ungkapan, melainkan suatu pola hubungan yang begitu nyata, memberikan batasan tegas antara atasan dan bawahan," tutur Arif.

Dia mengatakan budaya itulah yang kerap menciptakan penyalahgunaan keadaan oleh atasan terhadap bawahan.

Arif menyadari tidak semua orang bisa memahami kenapa bawahan sulit menolak penyalahgunaan oleh atasan tersebut.

Namun, dia menegaskan, walau dirinya seorang penegak hukum, lulusan Akademi Kepolisian (Akpol), bahkan berpangkat AKBP, bukan berarti dirinya bisa begitu saja menolak perintah atasan.

"Sebagai seorang lulusan Akademi Kepolisian yang berpangkat AKBP dengan pengalaman di berbagai bidang, seakan menjadi nilai kepastian dan predikat demikian pasti akan selalu memiliki kemampuan menolak perintah atasan," tegasnya.

Arif menyebut budaya seperti itu, di manapun berada, pasti akan sangat memiliki dampak.

Sehingga, penyalahgunaan karena ada relasi kuasa sangat rentan terjadi dalam sebuah institusi.

Dia lantas mengingatkan bahwa dirinya hanyalah manusia biasa yang merupakan seorang bawahan di Biro Paminal Divisi Propam Polri.

"Saya meskipun dengan predikat sedemikian rupa, hanyalah bawahan yang merupakan manusia biasa. Bawahan yang di dalam relasi kuasa berada di bawah kendali atasan dan manusia biasa yang memiliki takut sebagai salah satu emosi dasar yang muncul sebagai respons atas peristiwa yang menimpa saya," jelas Arif.

"Berbagai pertanyaan yang dilontarkan banyak pihak, 'mengapa? Mungkinkah seorang penegak hukum yang paham hukum, seorang dengan predikat seperti itu mengapa memilih diam saja? Mengapa takut berterus terang?' Bahkan juga ada yang mudah berasumsi dan menuduh tanpa empati bahwa ada kesengajaan dalam diri saya untuk membantu menghalangi," lanjut dia.

Merespons asumsi-asumsi tersebut, Arif mengaku dirinya juga bingung kenapa bisa sampai dirinya terlibat dalam kasus ini.

Menurut Arif, kenyataan yang sedang dilaluinya saat ini terasa seperti mimpi.

Pasalnya, berdasarkan penilaian pribadinya sendiri, Arif adalah orang yang taat dalam berbagai aturan dan ketertiban SOP yang mengedepankan kebenaran materil.

"Apakah mungkin hal itu terjadi kepada saya, harus terlibat dalam perkara dan diserang dengan tuduhan kesengajaan dan niat untuk merintangi penyidikan?" ucap Arif.

Arif mengklaim selama 21 tahun berdinas di Polri, dirinya selalu mengedepankan kehati-hatian dalam bekerja.

Dia turut mengaku sudah berupaya memohon bantuan ke atasannya ketika menemukan kejanggalan dalam rekaman CCTV di sekitar rumah dinas Sambo, Duren Tiga.

Rekaman CCTV yang dimaksud adalah rekaman yang menangkap Brigadir J masih hidup saat Ferdy Sambo baru tiba di rumah Duren Tiga.

Padahal, berdasarkan pengakuan Sambo, eks Kadiv Propam Polri tersebut baru tiba di rumah dinas Duren Tiga ketika Brigadir J sudah tewas.

"Saya sudah berupaya mempertimbangkan dan memohon bantuan (ketika menemukan kejanggalan). Saya memohon arahan dari atasan saya langsung yang saat itu saya kira bisa memberikan perlindungan, dukungan, serta arahan tentang ketidaksesuaian, kejanggalan," paparnya.

Arif lantas berandai apabila dirinya saat itu tidak diminta menghadap Sambo, maka pasti dia tidak akan disuruh memusnahkan file CCTV berisi Brigadir J masih hidup itu.

"Jika saat itu atasan saya mendukung dan memberikan arahan untuk melaporkan kepada petinggi Polri atau pejabat utama lainnya, demi memohon perlindungan dan arahan dalam rangka pengungkapan fakta, mungkin sejak saat itu saya lebih berani mengungkapkan hal yang saya ketahui. Namun, hal itu tidak se-ideal yang saya harapkan dan saya malah dihadapkan ke saudara FS yang justru kemudian meminta menghapus file tersebut," imbuh Arif.

Sebagai informasi, Arif dituntut 1 tahun penjara dan denda Rp 10 juta subsider 3 bulan kurungan.

Arif meminta agar dirinya dibebaskan dari tahanan dan dipulihkan nama baiknya.

Post a Comment

0 Comments