Mendes Ungkap Awal Mula Wacana Jabatan Kades 9 Tahun, Sebut Ada Ketegangan di Desa
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertingal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar mengungkap awal mula wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) menjadi 9 tahun.
Halim mengatakan, wacana itu bermula dari diskusi panjang sejak akhir 2021 mengenai dinamika politik di desa-desa.
Menurutnya, salah satu tim sukses calon kades yang menang menyampaikan kesulitannya dalam melakukan konsolidasi pembangunan.
“Karena friksinya (gesekan) masih terlalu tinggi ketegangannya,” kata Halim saat menghubungi Kompas. com melalui sambungan telepon, Rabu (25/1/2023) malam.
Halim menjelaskan, seorang kades yang terpilih tidak bisa menang secara mutlak. Mereka yang memperoleh suara terbanyak dinyatakan menang.
Ia mencontohkan, ketika terdapat 4 calon kades, sosok yang mendapatkan 30 persen suara saja bisa menang.
Ketika 3 calon yang tidak terpilih berkumpul, gabungan suara atau dukungan mereka menjadi 70 persen.
“Sementara di desa tidak ada sistem akomodasi politik,” ujar Halim.
Politikus PKB itu menuturkan, ketegangan pasca pemilihan kades (pilkades) lebih kental daripada pemilihan bupati, gubernur, maupun pilpres.
Sebab, orang-orang yang terlibat dalam pilkades kerap bersinggungan. Tim sukses calon kades yang menang dan kalah pun bertemu setiap hari.
Hal ini berbeda dengan pemilihan setingkat bupati hingga presiden. Mereka jarang bertemu dan euforianya dengan cepat menghilang.
“Ada syukuran sedikit yang kalah dengar dan enggak diundang dan seterusnya. Sudah lah, dinamikanya cukup tinggi. Nah, dari situ sebenarnya cerita mulanya,” tutur Halim.
UU Desa Perlu Direvisi
Halim mengatakan, mewujudkan wacana perubahan masa jabatan kades menjadi 9 tahun perlu dilakukan revisi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Halim sendiri menilai beberapa pasal dalam UU Desa yang pada 2021 sudah berusia 8 tahun perlu direvisi.
Di sisi lain, pembangunan di desa menjadi jauh lebih cepat karena adanya kucuran dana desa dari pemerintah pusat.
“Sehingga banyaklah pasal-pasal di UU Nomor 6/2014 yang perlu penyesuaian,” ujarnya.
Ia mencontohkan, status perangkat desa harus lebih jelas daripada saat ini. Kemudian, kesejahteraan perangkat desa juga harus ditingkatkan.
Kemudian, keterlibatan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan juga harus dikuatkan.
Persoalan tersebut harus diikat dalam produk undang-undang.
“Itu juga harus menjadi bagian dari revisi,” tuturnya.
Karena itu, kata Halim, ketika membicarakan revisi UU Desa tidak hanya mengenai masa jabatan para kades, melainkan semua pasal yang harus disesuaikan dengan perkembangan dinamika desa.
“Tapi biasa kan karena ada item masa jabatan akhirnya yg paling dominan dibahas itu yang masa jabatan,” tutur Halim.
“Padahal semua harus dibahas,” tambahnya.
Sebelumnya, ribuan kepala desa berunjuk rasa di DPR RI pada Selasa (17/1/2023). Mereka menuntut masa jabatannya diperpanjang 9 tahun.
Para kades itu mendesak ketentuan dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 yang membatasi masa jabatan mereka hanya 6 tahun dan bisa mencalonkan diri 3 periode direvisi.
Pada Senin (23/1/12023), Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi), DPP Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa Nasional (Abpednas), dan Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Persatuan Perangkat Desa Seluruh Indonesia (PPDI) mengajukan sejumlah tuntutan.
Di antaranya adalah masa jabatan diperpanjang menjadi 9 tahun dan boleh maju dalam 3 periode. Dengan demikian, total masa jabatan kades 27 tahun.
Pada Rabu (25/1/2023) ribuan perangkat desa kembali turun. Massa dari PPDI, menuntut mendesak UU Nomor 6 Tahun 2014 direvisi.
Mereka juga menuntut status perangkat desa diubah menjadi ASN atau Pegawai Pemerintah Perjanjian Kerja (PPPK).
Selain itu, mereka juga meminta dana desa menjadi 15 persen dari APBN nasional.
Tidak hanya itu, mereka menuntut Menteri Desa PDTT dievaluasi karena dinilai tidak cakap menerjemahkan UU Desa.
0 Comments