lMARAH SAAT HARUS MARAH
Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Marah adalah salah satu akhlaq buruk yang harus dijauhi oleh seorang muslim. Karena dengan kemarahan akan merusak begitu banyak hal baik pada diri seseorang, dan sebaliknya kian memperbesar hal buruk pada dirinya.
Secara khusus Nabi ﷺ pernah mengingatkan dengan sabdanya yang terkenal :
لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ
"Janganlah engkau marah, maka bagimu syurga." (HR. Thabrani)
Namun, apakah semua jenis kemarahan itu pasti tercela ?
Ternyata tidak. Marah tidaklah selalu tercela. Sebagian besarnya memang terlarang, namun ada juga jenis marah yang terpuji dan dibolehkan. Itu mengapa kita dapati adanya beberapa riwayat bahwa Nabi shalallahu'alai
Dan bahkan sebagian kemarahan beliau itu justru menunjukkan kesempurnaan dan keindahan akhlaq Rasulullah. Al imam ibnu Hajar rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas berkata :
وَهَذَا كُلّه فِي الْغَضَب الدُّنْيَوِيّ لَا الْغَضَب الدِّينِيّ كَمَا تَقَدَّمَ تَقْرِيره فِي الْبَاب الَّذِي قَبْله
"Semua pembahasan dalam perkara marah (yang dimaksudkan dalam hadits) adalah karena urusan duniawi, bukan marah karena urusan agama sebagaimana telah berlalu penjelasannya dalam bab sebelumnya." [1]
Imam Ghazali rahimahullah membagi marah menjadi tiga bagian :
1. Ifrath (Berlebihan), yakni orang yang gampang sekali marah. Semua hal disikapi dengan marah-marah. Ini adalah marah tercela, dan ini adalah jenis marah yang umum dialami oleh kebanyakan orang.
2. Tafridh (Berkekurangan)
3. I'tidal (Adil), yakni marah karena alasan yang benar dan juga terukur. Seseorang yang tahu kapan harus marah, dan kapan harus tetap bersabar. [2]
Kapan seharusnya bersabar menahan marah ?
Dalam banyak kondisi, kita diperintahkan untuk menahan marah. Yakni ketika gangguan itu bersifat menyerang pribadi, berupa cemoohan dan hinaan.
Atau segala gangguan yang bersifat merugikan kepentingan dunia. Seperti bersabar saat harta kita diambil misalnya, adalah lebih baik daripada marah-marah.
Disebutkan dalam hadits, bahwa Nabi tidak akan marah bila diri beliau didzalimi. Berbagai riwayat tentang hal ini sangatlah banyak.
Beliau pernah diperlakukan dengan kasar, yakni selendang yang ada di leher beliau ditarik dengan keras hingga membekas, beliau menyikapi keadaan yang cukup menyulut emosi itu dengan tersenyum indah.
Beliau pernah disambiti dengan batu hingga berdarah, namun beliau justru membalas dengan memberikan doa agar para pelakunya diberi hidayah.
Umul mukminin Aisyah berkata :
وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ
"Tidaklah Rasulullah merespon (marah) karena gangguan terhadap dirinya..." (Bukhari)
Terkecuali jika gangguan itu bersifat menjatuhkan kemuliaan seperti istri yang dilecehkan kehormatannya, maka wajib untuk melakukan pembelaan agar tidak jatuh ke sifat dayus, yakni orang yang tidak memiliki rasa cemburu saat kehormatannya diganggu.
Kapan seharusnya marah ?
Dalam sambungan hadits di atas dijelaskan :
إِلَّا أَنْ يُنْتَهَكَ شَيْءٌ مِنْ مَحَارِمِ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
"...Kecuali jika kehormatan Allah dilanggar, maka beliau akan marah karena Allah." (HR. Muslim)
Maka saat untuk marah yang benar adalah ketika Allah, Rasulnya dan agama ini direndahkan. Ketika syariat dilecehkan kita wajib untuk marah. Ketika Nabi dinista kita wajib untuk marah. Dan saat ini, ketika kitabullah dinistakan kita wajib marah.
Marah jenis inilah yang diingatkan oleh para ulama :
من استغضب فلم يغضب فهو حمار
"Siapa yang seharusnya marah tapi tidak mau marah, maka dia itu sedungu keledai."
Buya Hamka mengatakan : "Jika engkau diam ketika agamamu dihina, ganti saja pakaianmu dengan kain kafan."
Bagaimana seharusnya ketika harus marah ?
Marah yang benar adalah kemarahan yang terukur. Tidak sampai mengeluarkan caci maki, kata-kata umpatan dan berbuat yang menjurus kepada pengrusakan.
Jika harus bertindak, maka ia akan melakukan tindakkan yang dibenarkan syariat. Bahkan untuk menegakkan syariat itu sendiri.
Disebutkan dalam hadits : "Bila Rasulullah marah, kedua matanya berwarna merah, suaranya meninggi dan kemarahannya mengeras hingga seperti seorang komandan memperingatkan pasukannya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Wallahu a'lam.
________
1. Fath al Bari (17/297)
2. Ihya Ulumuddin (2/361)