KEMBALIKAN BOROBUDUR PADA NILAI EDUKASI DAN KESUCIANNYA
Beberapa waktu terakhir, terkadang saya takut sendiri kalau menulis sesuatu. Tanpa saya duga, tulisan itu seolah mestakung tiba2 terwujud dan kejadian. Seolah doa, tulisan saya terakhir tentang Borobudur dimana tidak ditempatkan patung "Unfinish Buddha" pada lokasi aslinya kok terapresiasi dengan cepat dan tepat. Awalnya saya menganggap hal ini mengurangi nilai kesakralan tempat suci ini, akhirnya terjawab sudah.
Saya tentu saja berharap banyak dikembalikannya Borobudur pada fungsi sakralnya bagi umat Buddha di Indonesia bahkan dunia. Tinimbang sebagai obyek wisata yang salah kaprah dan menyimpang dari fungsi aslinya sebagai tempat edukasi itu..
Belakangan saya baru paham rupanya umat Buddha sendiri melarangnya dan meragukan kesakralan area tertinggi. Yang sungguh menyedihkan diperlakukan secara "sembrono dan tidak pada tempat"-nya. Dinaiki seolah itu sekedar tumpukan batu mati semata, bahkan oleh kalangan yang saya pikir seharusnya sedikit "intelek" para fotografer yang seharusnya adalah para pencatat sejarah. Juga sering memperlakukan area tersebut secara norak dan bodoh, hanya sekedar untuk mendapat sudut gambar yang mereka inginkan. Tanpa mengindahkan adab dan nilai kesopanan.
Dan bila, hari2 ini hal tersebut disikapi oleh pengelolanya dengan cara2 hari ini, menaikkan harga tiket secara sangat eskalatif, sehingga mengundang protes banyak pihak. Saya pikir, bisa dimengerti dan bagi saya ini melulu masalah minimnya edukasi dan pencitraan yang selama ini terlanjur salah. Untuk itu, atas permintaan teman2, perkenankan saya menuliskan sekelumit pendapat saya. Tentang bagaimana melihat Borobudu secara lebih bijak (bukan benar loh!) dan mendudukkan segala sesuatu pada tempatnya.
Pertama, yang diketahui tapi tidak disadari secara mendalam oleh publik adalah status kepemilikan Borobudur itu sendiri. Walau Borobudur berada dalam teritori Indonesia, menjadi hak masyarakatnya, dan kewajiban negara untuk memeliharanya. Tapi sesungguhnya ia juga secara resmi sudah milik bersama warga dunia. Ia telah dinyatakan secara resmi dalam situs World Heritage yang ditetapkan oleh UNESCO sejak tahun 1991.
Resikonya segala sesuatu yang menyangkut manajemen pengelolaannya memang harus sepersetujuan lembaga ini.
Setiap detail perubahan, pemeliharaan, bahkan penyelenggaraan event sesederhana apa pun harus sudah jauh hari dilaporkan kepada UNESCO yang dalam konteks kantor World Heritage yang berkedudukan di Paris. Tidak ada satu pun detail yang boleh terlewat. Jadi dalam hal ini, saya ingin meluruskan kalau pun kelak ada kenaikan harga tiket, berapa pun nilainya. Bahwa ada pembedaan antara turis asing dan domestik itu berdasarkan ketetapan dari UNESCO.
Di sini saya sekalian meluruskan stigma ngawur yang menganggap Luhut B. Panjaitan sebagai yang menetapkannya. Apa urusan Menteri Investasi dan Kemariman RI dengan Borobudur. Ngaco itu! LBP hanya dipersekusi dan difitnah dalam hal ini. Realitasnya ia hanya berkomentar tentang rencana (catat: baru rencana) tentang kenaikan tiket itu. Dan ia hanya menyatakan pendapat pribadinya yang mendukung rencana tersebut. Tak lebih!
Kedua, kenaikan harga tiket tersebut sebenarnya menyangkut dua hal pokok yaitu teknis (khususnya konstruksi) dan non-teknis yaitu pembagian area fisik Borobudur sendiri menurut nilai2 moral dan sakral keagamaannya. Secara konstruksi, sebagai situs yang berusia ratusan tahun, walau terbuat dari batu andesit yang kokoh. Candi ini juga mengalami proses pelapukan dan penghancuran secara alami yang terus menerus.
Sentuhannya yang intens dengan manusia, tentu saja berikut perilaku mereka yang sering kurang sopan. Menyentuh (ini seolah memindahkan penyakit), bahkan dalam beberapa kasus menjadikannya sebagai obyek foto dengan injakan dan pijakan yang berlebihan, secara perlahan membuat batu2 tersebut makin aus dan tertekan. Secara umum, pembatasan dengan pagar maupun papan peringatan, yang sesungguhnya merusak nilai estetis dan originalitas
candi itu sendiri. Terbukti sama sekali tak bermanfaat.
Dan bagian yang menurut hipotesis secara keilmuwan yang sayangnya belum bisa dipertanggung jawabkan secara fisik, karena memang nyaris muskil. Walau diakui secara teoritis dan masuk nalar belaka. Bahwa di bawah kaki candi ini, konon masih adanya sisa candi yang sengaja dikubur. Yang konstruksinya terbentuk dari rongga2 yang kosong. Analoginya adalah sejenis pondasi cakar ayam yang tidak menutup secara rapat.
Ruang kosong ini, sebagaimana perut bumi yang tidak solid tetap berongga2. Yang memungkinkan menjadi area pernafasan yang membuat pondasi ini cukup kokoh. Bila belum bisa membayangkan juga! Bayangkan saja isi perut dan rongga dada kita sebagai manusia. Dimana di dalamnya tidak melulu terdiri daging, otot, dan tulang. Tidak ada rongga kosong di antara paru2 dan jantung. Tanpanya bagaimana mungkin kita bisa hidup normal dan bernafas dengan baik....
Ketiga, ini bagian terpentingnya. Dan hal ini sebenarnya pelajaran sekolah dan edukasi dasar tentang Candi Borobudur yang selalu diucapkan bahkan harus dihapalkan. Tapi selalu luput dari pemakanaannya secara baik dan benar. Bahwa secara arsitektur Candi Borobudur, bahkan nyaris semua candi lain baik dalam agama Buddha maupun Hindu. Selalu terbagi dalam tiga area pokok, yang intinya adalah area profan, area perpindahan, dan area sakral. Yang dimaknai sebagai area duniawi, area antara, dan area suci.
Dalam pemahaman Hindu, pada bentuk aslinya hal tersebut lebih mudah ternyata dengan pemagaran yang jelas yang juga terbuat dari batu2 andesit yang tertata sebagai pagar keliling. Dimana antar ketiga tahapan tersebut dibuatnya gapura2 yang berbeda. Menjelakan kenapa pada masa lalu, candi2 pelatakannya selalu pada kontur tanah yang tidak rata. Bagian paling profan, tentu saja pada titik paling bawah, meningkat terus hingga bagian tersuci pada titik paling atas.
Dalam Candi Borobudur hal tersebut dinyatakan dalam apa yang dari bawah ke atas disebut, sebagai:
(1) Kaki candi merupakan bagian bawah candi. Bagian ini melambangkan dunia bawah atau bhurloka. Pada konsep Buddha disebut "kamadhatu". Yaitu menggambarkan dunia hewan, alam makhluk halus seperti iblis, raksasa dan asura, serta tempat manusia biasa yang masih terikat nafsu rendah.
(2) Tubuh candi adalah bagian tengah candi yang berbentuk kubus yang dianggap sebagai dunia antara atau bhuwarloka. Pada konsep Buddha disebut "rupadhatu". Yaitu menggambarkan dunia tempat manusia suci yang berupaya mencapai pencerahan dan kesempurnaan batiniah.
(3) Atap candi adalah bagian atas candi yang menjadi simbol dunia atas atau swarloka. Pada konsep Buddha disebut "arupadhatu". Yaitu menggambarkan ranah surgawi tempat para dewa dan jiwa yang telah mencapai kesempurnaan bersemayam. Pada umumnya, atap candi terdiri dari tiga tingkatan yang semakin atas semakin kecil ukurannya.
Di masa kini dalam konteks Borobudur bahwa ia terbagi dalam dua area pokok.
(1) Apa yang disebut Taman Wisata, ini adalah halaman luar yang sangat luas. Di dalamnya terdapat banya area yang melulu digunakan untuk wisata, ada taman, ada museum, ada area tunggang gajah, dll. Sampai disini pengunjung tetap bayar 50 ribu saja. Tentu saja, wisatawan di bawah apa yang dikategorikan sebagai wisatan yang non-educated, plesiran, dan ingin menatap candi dari bawah saja.
Hal ini umum dan lumrah dimana saja, bahkan jika kita ke Pyramid Giza, atau ke Louvre, atau ke tembok China atau ke Amristar, India. Kita tidak perlu harus masuk ke dalamnya atau naik ke puncaknya.
(2) Area Candi sebagai tempat religi dan edukasi sejarah. Di sinilah sebenarnya nilai heritage sesungguhnya. Apalagi bila Borobudur akan dikembalikan pada nilai kesakralannya, sebagaimana mungkin Kabah atau Loudres atau Kawasan Tiga Agama di Yerusalem. Ia memang tidak bisa dimasuki secara sembarangan, tanpa sebuah portofolio dan tujuan yang jelas. Tanpa sebuah kompensasi yang layak bukan atas dasar komersialisasi, tapi terutama justru menunjukkan urgensi dan nilainya.
Kalau pun rencana perubahan tiket itu terwujud dengan harga 750 ribu untuk turis domestik dan 100 US $ untuk turis asing juga apa salahnya? Bukankah dalam konteks wisata, itu merupakan sebuah kehormatan bagi bangsa ini. Akhirnya ada sebuah situs yang betul2 "dihargai" menurut standar global. Dan bukankah hanya Borobudur satu2nya yang bisa kita tonjolkan hingga saat ini. Bukan saja dari nilai kemegahan dan kebesarannya. Apalagi bila korelasinya ia adalah satu dari tujuh keajaiban dunia...
Apakah itu tidak bernilai sebagai wahana edukasi bagi generasi muda untuk belajar? Dimanapun situs terhormat dan terpenting sekalipun selalu ada yang namanya "kekecualian" atau previlege. Untuk pelajar bahkan cukup membayar 5 ribu rupiah saja.
Saya tentu saja 1000% mendukung Borobudur dikembalikan kepada fungsi aslinya. Pada nilai kesakralannya bagi umat pendukungnya. Dan tetap menjadi tempat arena belajar bagi siapa pun yang menginginkan dan membutuhkannya.
Bila hanya sekedar arena selfie dan arena uji ketahanan badan untuk bisa hiking? No way!
NB: Bagi saya kontroversi dan perdebatan dalam masyarakat itu biasa dan justru harus disyukuri. Hal ini menunjukkan masyarakat yang sehat. Sebuah keputusan baru itu harus selalu diuji, untuk mendapatkan justifikasi yang kuat. Agar kebijakan itu juga tetap mengakomodasi kepentingan semua pihak.
Persoalannya jadi tengik dan menyebalkan buat saya. Bila suatu keputusan tertentu, justru menjadi ajang mendeskreditkan seseorang siapa pun itu. Dan sebagaimana jamak akhir2 ini, LBP selalu selalu jadi obyek fitnah itu. Jika kelak Kabinet Jokowi berakhir, kita akan selalu merindukan figur ini. Orang cerdas, nasionalis, pekerja keras dan punya banyak kepedulian. Sebut saja satu nama yang setara dengan dirinya saat ini? Tralalala, tak ada!
Di lain sisi, saya membaca banyak para cerdik pandai yang berasal dari PTN terhormat justru terlalu cepat berpendapat. Namanya hanya untuk dicatut, sekedar konsumsi click bait yang menyesatkan cara pandang publik yang sialnya akan menggapnya benar. Ia menganggap apa yang direncanakan ini sebagai komersialisasi. Sungguh absurd! Bila ia mengatakannya demikian, bukankah ia berasal dari PTN yang justru mengkomersialsikan ilmu yang dia jual kepada anak didiknya sendiri di tempat ia mengajar?
Gak fair dong.
Upaya pensucian kembali Borobudur tentu tidak mudah, butuh waktu dan proses. Butuh sosialisasi dan edukasi lebih lanjut. Tapi saya pikir ini memang sudah pada momentumnya, tepat pada waktunya.
Hingga minimal perilaku tolol sebagaimana foto2 di bawah ini tak terjadi lagi.