Your Life My Life Is Not Content: Fighting the Social Media Version of the Double Standard of Success

Illustration of the TikTok application. (Pixabay/iXimus)

Your Life My Life Is Not Content: Fighting the Social Media Version of the Double Standard of Success

Let's be honest, how often have you opened TikTok or Instagram, only to immediately experience a minor mental breakdown? 

Lately, our FYP has become more and more like a must-see catalog whose only contents are "parades of child prodigies."There are those who have saved tens of millions at the age of 24, there are those who show off their side hustles with jaw-dropping turnover, or show off cool skills that are said to be "a must-have for Gen Z". 

The videos are aesthetic, full of ambition, and look very easy to do. However, the side effect is pretty severe: if you're not as productive as they are, you're immediately labeled "lack of effort."

The "Ngoyo" Culture That Makes Us Tired

Social media comments sections now feel like mass therapy rooms. It contained complaints, such as, "How come my life is so different, huh?", "I'm still blank at this age," or "I feel really useless."

This is no longer about motivational content, but content that unconsciously enforces a new caste system: castes who are successful because they are diligent in creating content (productive) and castes who feel stuck (left behind). Honestly, we can't blame TikTok entirely. The platform is just a vehicle. What runs and directs is our own "no-nonsense" culture. 

Since ancient times, our culture has been fond of telling young people to keep running, without thinking about whether they are ready or not. Rest is considered a sin and failure is a disgrace that must be hidden tightly. Social media only reinforces this old mindset: a person's worth is measured by what he produces. 

The difference now is that the size is checked in real-time by an algorithm. Whoever is the most productive will get the big stage. Who is struggling in silence, yes, thrown into a quiet corner of the timeline. 

Algorithms Only Show the Highlights, Not the Reality

The main problem is that algorithms never show the true human side. What appears in FYP is just the tip of the iceberg of success. We only see the highlights of the final result. 

The videos never show the confusion, fear of failure, or economic stress that many people are actually facing. What they show are individual solutions, as if all life's problems can be solved just by "working diligently" or "waking up early."In fact, we all know that life is not balanced from the start. 

We are often told to focus on individual achievements, but we forget that the success we demonstrate is often supported by privileges that not everyone has. Let's be honest:

• Not everyone has capital or loans from family to start a business. 
• Not everyone has free time in the midst of busy working hours to "improve skills" or take expensive courses. 
• Not everyone has mental and financial support from family who are ready to support us when we fail. 

Outdated slogans like "if you want to, you can" feel fake because they ignore economic, social and inequality factors that never appear in a 15 second video. Finally, we are forced to carry a heavy burden that should be the responsibility of the system. It's normal if we feel tired. We simply live in an age that demands us to prove ourselves endlessly. 

Reject stupid standards from device screens

So, how can we escape the trap of this comparison? The first step, and this is the most important, is to dismantle the myth that life must always look productive. It's okay if our lives are not as aesthetic or ambitious as the content on FYP. It's okay if we need a break. 

We must have the courage to accept that each person's life process is different and cannot be compared with each other. We need to shift the focus from public appearances, which always demand perfection, to our own personal processes. 

Most importantly, realize one thing: algorithms have no right to determine who succeeds and who fails. 

This flood of achievement content is not just about young people showing off. This is a reflection of our society which loves achievement too much, but is stingy in providing understanding and space for process. In the midst of an increasingly pressing world, the best resistance we can do is to calmly move according to our own rhythm, without bothering to follow FYP's "crazy" standards of success. Remember, our life is not content. You are not an achievement production machine. 

Hidupmu Hidupku Bukan Konten: Melawan Standar Ganda Sukses Versi Media Sosial

Illustration of the TikTok application. (Pixabay/iXimus)

Coba jujur, seberapa sering Anda membuka TikTok atau Instagram, lalu langsung mengalami mental breakdown kecil?

Belakangan ini, FYP kita makin mirip katalog wajib tonton yang isinya hanya "parade anak ajaib". Ada yang sudah menabung belasan juta di usia 24, ada yang memamerkan bisnis sampingan (side hustle) dengan omzet yang membuat melongo, atau memamerkan keterampilan keren yang konon katanya "wajib dimiliki Gen Z".

Video-video itu memang estetik, penuh ambisi, dan terlihat sangat mudah dilakukan. Namun, efek sampingnya lumayan parah: jika Anda tidak seproduktif mereka, Anda langsung dicap "kurang usaha".

Budaya "Ngoyo" yang Membuat Kita Kelelahan

Kolom komentar media sosial sekarang rasanya seperti ruang terapi massal. Isinya keluhan, seperti, "Kok hidupku beda banget, ya?", "Aku umur segini masih blank", atau "Merasa useless banget, deh."

Ini bukan lagi soal konten motivasi, tetapi konten yang secara tidak sadar menegakkan sistem kasta baru: kasta yang sukses karena rajin membuat konten (produktif) dan kasta yang merasa stuck (tertinggal). Jujur saja, kita tidak bisa menyalahkan TikTok sepenuhnya. Platform itu hanya kendaraan. Yang menjalankan dan mengarahkan adalah budaya "ngoyo" kita sendiri.

Sejak dulu, budaya kita memang gemar menyuruh anak muda untuk berlari terus, tanpa memikirkan apakah mereka sudah siap atau belum. Istirahat dianggap dosa dan kegagalan adalah aib yang harus disembunyikan rapat-rapat. Media sosial hanya memperkuat pola pikir lama ini: nilai manusia diukur dari apa yang ia hasilkan.

Bedanya sekarang, ukurannya diperiksa secara real-time oleh algoritma. Siapa yang paling produktif akan mendapatkan panggung besar. Siapa yang sedang berjuang dalam diam, ya, dicampakkan ke sudut sunyi linimasa.

Algoritma Hanya Memamerkan Highlight, Bukan Realitas

Masalah utamanya adalah algoritma tidak pernah menampilkan sisi manusia yang sebenarnya. Yang muncul di FYP hanyalah puncak gunung es dari sebuah keberhasilan. Kita hanya melihat highlight hasil akhirnya.

Video-video itu tidak pernah menampilkan kebingungan, rasa takut gagal, atau tekanan ekonomi yang sebenarnya sedang dihadapi banyak orang. Yang mereka tunjukkan adalah solusi individual, seolah-olah semua masalah hidup bisa selesai hanya dengan "rajin ngide" atau "bangun pagi". Padahal, kita semua tahu bahwa hidup ini tidak seimbang sejak awal.

Sering kali kita disuruh fokus pada pencapaian individu, tetapi kita lupa bahwa kesuksesan yang dipamerkan itu sering kali didukung oleh privilese (privilege) yang tidak dimiliki semua orang. Mari kita jujur:

• Tidak semua orang punya modal atau pinjaman dari keluarga untuk memulai bisnis.
• Tidak semua orang punya waktu luang di tengah padatnya jam kerja untuk "meningkatkan skill" atau mengikuti kursus mahal.
• Tidak semua orang punya dukungan mental dan finansial dari keluarga yang siap menopang saat kita gagal.

Slogan usang seperti "kalau mau, pasti bisa" menjadi terasa palsu karena mengabaikan faktor ekonomi, sosial, dan ketimpangan yang tidak pernah muncul di video 15 detik. Akhirnya, kita dipaksa memikul beban berat yang seharusnya menjadi tanggung jawab sistem. Wajar jika kita merasa lelah. Kita hanya hidup di zaman yang menuntut kita untuk membuktikan diri tanpa henti.

Menolak Standar Ngaco dari Layar Gawai

Lalu, bagaimana caranya kita bisa lepas dari jeratan perbandingan ini? Langkah pertama, dan ini yang paling penting, adalah membongkar mitos bahwa hidup harus selalu terlihat produktif. Tidak apa-apa jika hidup kita tidak seestetik atau seambisius konten di FYP. Tidak apa-apa jika kita butuh istirahat.

Kita harus berani menerima bahwa proses hidup setiap orang itu berbeda dan tidak bisa dibandingkan satu sama lain. Kita perlu menggeser fokus dari penampilan publik, yang selalu menuntut kesempurnaan, ke proses pribadi kita sendiri.

Yang paling penting, sadari satu hal: algoritma tidak punya hak untuk menentukan siapa yang sukses dan siapa yang gagal.

Banjir konten pencapaian ini bukan hanya soal anak muda yang pamer. Ini adalah cerminan masyarakat kita yang terlalu cinta pada prestasi, tetapi pelit dalam memberikan pemahaman dan ruang untuk berproses. Di tengah dunia yang makin menekan, perlawanan terbaik yang bisa kita lakukan adalah dengan santai melangkah sesuai ritme diri sendiri, tanpa perlu repot mengikuti standar kesuksesan yang "ngaco" versi FYP. Ingat, hidup kita itu bukan konten. Anda bukan mesin produksi pencapaian.