Borobudur Temple Keeps Many Secrets, Even Hidden Underground
Implementation of Pradaksina Merdeka at Borobudur Temple, Magelang, Central Java, Saturday (17/8/2024). (Antara)
Borobudur TEMPLE is an important object in various scientific disciplines, including biodiversity studies. This temple has more than 1,460 reliefs that tell many things, such as Karmawibhangga and Lalitavistara. Regarding flora and fauna, more than 80 species of flora and fauna have been identified from the two story narratives with the meaning of their appearance not yet known in the story.
This was conveyed by the Head of the Biosystematics and Evolution Research Center (PRBE), Biological and Environmental Research Organization (ORHL), National Research and Innovation Agency (BRIN), Arif Nurkanto.
“The question that arises is whether the reliefs are only decorative or have symbolic meaning. "This is an important topic that has not been fully resolved since research began in 1920," explained Arif in a statement received, Monday (28/10/2024).
Ibnu Maryanto, Research Professor from the BRIN Biosystematics and Evolution Research Center, explained that Borobudur Temple, which was built in the 7th and 8th centuries, holds many secrets, including Karmawibhangga relief panels hidden underground. The hiddenness of these panels was deliberately not shown to the public to protect the temple structure, in accordance with UNESCO's decision.
"A multidisciplinary study of this relief involving experts in flora, fauna, philology, ethnography, and anthropology, archaeology, culture and religion using a queer-ecology approach that explores the relationship between flora, fauna and humans in the Karmawibhangga relief, has issued"cognition based on reason that can be practiced in today's life or the implementation of culture was actually much more advanced in the era when Borobudur was first founded," said Ibnu.
One of the latest publications, Queering Tropical Heritage: Flora and Fauna Reliefs in Karmawibhangga Borobudur Temple, Indonesia, is a new discovery of the perspective of equality between anthropocentric, flora, fauna and other post-human objects, not only the principle of the law of karma. demonstrated, but can also be used in nature management as well as an important ecological indicator.
Ibnu added, through intra-textual, extra-textual and tropical queer-ecology approaches, this study highlights the important role of flora and fauna in tropical cultural heritage, as well as how they see flora, fauna and nature as equal to humans, breaking hierarchies or undoing normativity which is generally considered valid.
“This research shows that Borobudur not only highlights artistic aspects, but also challenges established norms. This study with a queer ecology perspective promotes equality between humans, animals, plants, nature, etc. and proposes deconstructive strategies to reduce discrimination in social life, and in reality fauna and flora are often marginalized. Thus encouraging fairer interactions in social, cultural and ecological contexts,” he explained.
“The Karmawibhangga relief, which has 160 panels, depicts the human journey from birth to death through the law of cause and effect (karma). The depiction of flora and fauna in this relief shows very accurate detail, providing insight into the natural riches immortalized by the sculptor. "Identifying the carved plants and animals helps understand the meaning behind the reliefs," explained Ibnu.
He said that this study also saw Borobudur as more than just a place of worship; Many believe that this temple also functioned as a learning center during its time. With reliefs depicting flora and fauna symbols, we can see traces of biodiversity, as well as the relationship between humans and nature that has been studied for a long time.
"Actually, Borobudur is a book stone university, the study of life science philosophy is discussed in a series of panels and stupas from the bottom to the top," said Ibnu.
One of the difficulties in this study was that when drawing conclusions regarding the identification of flora and fauna, it turned out that the sculptor had deliberately created morphological structural forms of flora and fauna that could only be identified when viewed from an upward, downward and forward perspective. All identification results and perspectives for identifying them all have different and meaningful meanings. (Ata/P-3)
Candi Borobudur Simpan Banyak Rahasia, Bahkan Tersembunyi di Bawah Tanah
CANDI Borobudur merupakan obyek penting dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk kajian keanekaragaman hayati. Candi ini memiliki lebih dari 1.460 relief yang menceritakan banyak hal, seperti Karmawibhangga dan Lalitavistara. Terkait flora dan fauna, lebih dari 80 spesies tumbuhan dan fauna telah teridentifikasi dari kedua narasi cerita tersebut dengan makna kemunculan yang belum banyak diketahui dalam cerita tersebut.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi (PRBE), Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan (ORHL), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Arif Nurkanto.
“Pertanyaan yang muncul adalah apakah relief-relief tersebut hanya dekoratif atau memiliki makna simbolis. Ini menjadi topik penting yang belum sepenuhnya terpecahkan sejak penelitian dimulai pada tahun 1920,” terang Arif dalam keterangan yang diterima, Senin (28/10/2024).
Ibnu Maryanto, Profesor Riset dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN, menjelaskan bahwa Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-7 dan ke-8, menyimpan banyak rahasia, termasuk panel-panel relief Karmawibhangga yang tersembunyi di bawah tanah. Ketersembunyian panel-panel tersebut memang sengaja tidak diperlihatkan kepada publik untuk melindungi struktur candi, sesuai dengan keputusan UNESCO.
“Kajian multidisiplin terhadap relief ini melibatkan ahli flora, fauna, filologi, etnografi, dan antropologi, arkeologi, budaya dan agama dengan menggunakan pendekatan queer-ecology yang mengeksplorasi hubungan antara flora, fauna, dan manusia dalam relief Karmawibhangga, telah mengeluarkan kognitifikasi di atas nalar yang bisa dipraktekkan di kehidupan masa sekarang atau pelaksanaan budaya sebenarnya jauh lebih maju di era abad Borobudur awal didirikan,” ungkap Ibnu.
Salah satu publikasi terbaru, Queering Tropical Heritage: Flora and Fauna Reliefs in Karmawibhangga Borobudur Temple, Indonesia, merupakan sebuah penemuan baru cara pandang kesetaraan antara antropocentris, flora, fauna dan benda-benda post human lainnya tidak hanya prinsip hukum karma yang diperlihatkan, tetapi juga dapat digunakan dalam pengelolaan alam sekaligus indikator penting ekologi.
Ibnu menambahkan, melalui pendekatan intra-tekstual, ekstra-tekstual, dan queer-ecology tropis, kajian ini menyoroti peran penting flora dan fauna dalam warisan budaya tropis, serta bagaimana mereka melihat flora, fauna dan alam setara dengan manusia, mematahkan hierarki atau undoing normativity yang umum dianggap berlaku.
“Penelitian ini menunjukkan bahwa Borobudur tidak hanya menonjolkan aspek artistik, tetapi juga menentang norma-norma yang mapan. Kajian dengan perspektif queer ecology ini mempromosikan kesetaraan antara manusia, hewan, tumbuhan, alam, dan lain-lain serta mengusulkan strategi dekonstruktif untuk mengurangi diskriminasi didalam kehidupan bermasyarakat, dan realitanya fauna, dan flora yang sering terpinggirkan. Dengan demikian mendorong adanya interaksi yang lebih adil dalam konteks sosial, budaya, dan ekologi,” jelasnya.
“Relief Karmawibhangga, yang memiliki 160 panel, menggambarkan perjalanan manusia dari lahir hingga kematian melalui hukum sebab-akibat (karma). Penggambaran flora dan fauna di relief ini menunjukkan detail yang sangat akurat, memberikan wawasan tentang kekayaan alam yang diabadikan oleh pemahat. Identifikasi tumbuhan dan hewan yang diukir membantu memahami makna di balik relief tersebut,” rinci Ibnu.
Dirinya mengatakan, kajian ini juga melihat Borobudur sebagai lebih dari sekadar tempat ibadah; banyak yang percaya bahwa candi ini juga berfungsi sebagai pusat pembelajaran pada zamannya. Dengan relief yang menggambarkan simbol flora dan fauna, kita dapat melihat jejak biodiversitas, serta hubungan antara manusia dan alam yang telah dipelajari sejak dahulu.
“Sebenarnya Borobudur adalah sebuah book stone university, kajian filsafat ilmu kehidupan terbahaskan di rangkaian panel-panel dan stupa mulai dari bawah hingga ke puncak,” ungkap Ibnu.
Salah satu kesulitan dalam kajian ini yaitu ketika mengambil kesimpulan dalam identifikasi flora dan fauna, ternyata pemahat sengaja membuatnya bentuk struktur morfologi flora dan fauna baru bisa teridentifikasi jika dilihat dari sudut pandang ke atas, ke bawah dan depan. Semua hasil identifikasi dan cara pandang untuk mengidentifikasinya kesemuanya memiliki makna yang berbeda-beda dan penuh arti. (Ata/P-3)