Recognition of Indonesian as an international language

Recognition of Indonesian as an international language
Photo Archives - Indonesian was successfully designated as an official language at the UNESCO General Conference in Paris, France, Monday (20/11/2023). ANTARA/HO-UNESCO/am. 

- After a long series of efforts and discussions, the UNESCO plenary session on 20 November 2023 decided to accept the Indonesian Government's proposal to make Indonesian the official language of the general assembly of one of the bodies under the auspices of the United Nations (UN). 

Thus, Indonesian became the 10th official language at the General Assembly of the UN body for education, science and culture, complementing the nine other UN languages, namely English, French, Arabic, Chinese, Russian, Spanish, Hindi, Italian and Portuguese. 

Ambassador and Permanent Representative of the Republic of Indonesia to UNESCO, Ismunandar, on one occasion said that this recognition also shows the important role of the Indonesian language in promoting world peace and solidarity. This also implies UNESCO's belief in the importance of language because world peace is impossible to build with economics and politics alone. 

One of the important roles of Indonesian as the official language of the UNESCO General Assembly is that all UNESCO meeting decisions must be translated into official languages, including Indonesian. 
This recognition is also demonstrated by the translation of UNESCO 2023 documents into Indonesian, totaling 250 books and 29 mathematical games into Indonesian, which are continued into 27 regional languages ​​to support literacy and preserve Indonesian in remote areas, according toIsmunandar. 

This achievement shows the role and function of Indonesian which has been tested in its history since the 1928 Youth Pledge, as a national language which has played a role in various national interests. The success of Indonesian as a tool to unite thousands of ethnic groups in Indonesia is a major asset and is the key to world peace through language. Another strength that is the pride of this nation is that Indonesian speakers are all people throughout Indonesia, namely around 270 million. 

At the academic level, Indonesian is a mandatory subject from first grade to university. For this one subject there cannot be a red mark or a failure. Several lecturers who teach Indonesian on campuses expressed how tired they were when delivering Indonesian language material. 
Even though students have studied Indonesian since grade 1 of elementary school, their understanding and awareness of the language is still not satisfactory. One of the inhibiting factors is the attitude of taking Indonesian as a mother tongue for granted. Apart from that, the role of the mass media with sources who do not appreciate Indonesian also influences student attitudes. 
Need enrichment

According to Ismunandar, with the position of Indonesian as an international language, concrete steps need to be taken, namely how to increase the interest of world citizens in Indonesian, especially in the midst of increasing conflict between countries. 

Not long ago, the Indonesian Embassy in Canberra in Australia launched the "Kawan Chat" program to promote Indonesian for Foreign Speakers (BIPA). There are 16 schools and two colleges in Canberra that offer Indonesian language courses. 

Apart from that, efforts are needed to continuously enrich Indonesian vocabulary and build enjoyment and awareness of the language for the wider community. Enrichment efforts can be carried out through scientific channels and regional languages. 

Various communication events in society, such as the presidential debate ahead of the 2024 election, have also given birth to quite refreshing vocabulary. There are cool dances, gimik, chatter, meandering, mea-mea, biu-biu, digital downstreaming, and others. 

Data from the Big Indonesian Dictionary (KBBI), the number of vocabulary will reach 120 thousand in 2023 and is expected to reach 200 thousand in 2024. 
It is hoped that these thousands of vocabularies can become a means of collaborative communication between citizens, in line with UNESCO's reasons for making Indonesian the official language of UNESCO, namely as a driver of world peace. 

In this context, the role and function of Indonesian seems not to be enough to just enrich vocabulary, because there are many communication events that are quite disturbing to the public due to language factors. 
Brawls between residents in several areas in Jakarta and other areas still occur frequently. News of violence against children and women, fathers raping biological children, mothers killing babies, has not stopped. Which media language can change society's sadistic behavior? A study revealed that media language actually exacerbates sadism in society. 

This means that language is not enough just to enrich vocabulary, but also needs to enrich the meaning behind vocabulary, because every word or sentence is a speech act and influences the reader's behavior. 
From a pragmatic perspective, every word or sentence contains three speech acts at once, namely locution, illocution and perlocution. This means that every word or sentence conveyed must have a certain message, purpose and expected effect. This is where misunderstandings often occur between the speaker and the listener, which can trigger acts of violence. 

Enriching the vocabulary and meaning behind spoken words or sentences, directly or through the media, such as "chat friends" carried out by the campus in Canberra, needs to be supported by real action from all parties, so that Indonesian, which has been recognized by UNESCO as an official international language, can become something to be proud of. for the Indonesian nation. 


Pengakuan Bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional
Arsip Foto - Bahasa Indonesia berhasil ditetapkan menjadi bahasa resmi pada Konferensi Umum UNESCO di Paris, Prancis, Senin (20/11/2023). ANTARA/HO-UNESCO/am.

- Setelah melalui rangkaian panjang usaha dan diskusi, sidang pleno UNESCO pada 20 November 2023 memutuskan untuk menerima usulan Pemerintah Indonesia menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi sidang umum salah satu badan di bawah naungan Perserikatan Banga-Bangsa (PBB) itu.

Dengan demikian, Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi ke-10 pada Sidang Umum badan PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan tersebut, melengkapi sembilan bahasa PBB lainnya, yaitu Bahasa Inggris, Prancis, Arab, China, Rusia, Spanyol, Hindi, Italia, dan Portugis.

Dubes dan Wakil Tetap RI untuk UNESCO Ismunandar, dalam suatu kesempatan mengatakan pengakuan ini sekaligus menunjukkan peran penting Bahasa Indonesia dalam mendorong perdamaian dan solidaritas dunia. Hal ini sekaligus menyiratkan keyakinan UNESCO terhadap pentingnya bahasa karena perdamaian dunia mustahil dibangun hanya dengan ekonomi dan politik semata.

Salah satu peran penting Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi Sidang Umum UNESCO adalah semua keputusan sidang UNESCO harus diterjemahkan ke dalam bahasa resmi, termasuk Bahasa Indonesia.

Pengakuan ini juga ditunjukkan dengan penerjemahan dokumen UNESCO 2023 ke Bahasa Indonesia sebanyak 250 buku dan 29 permainan matematika ke dalam Bahasa Indonesia, yang dilanjutkan ke dalam 27 bahasa daerah untuk mendukung literasi dan pelestarian Bahasa Indonesia di daerah terpencil, demikian Ismunandar.

Prestasi ini menunjukkan peran dan fungsi Bahasa Indonesia yang sudah teruji dalam perjalanan sejarahnya sejak Sumpah Pemuda 1928, sebagai bahasa nasional yang telah memainkan perannya dalam berbagai kepentingan bangsa. Keberhasilan Bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu ribuan etnis di Indonesia merupakan modal utama dan menjadi kunci perdamaian dunia melalui bahasa.

Kekuatan lainnya yang menjadi kebanggaan bangsa ini adalah penutur Bahasa Indonesia adalah semua orang di seluruh wilayah Indonesia, yakni sekitar 270 juta.

Dalam tataran akademis, Bahasa Indonesia menjadi pelajaran wajib sejak kelas satu SD sampai perguruan tinggi. Untuk satu mata pelajaran ini tidak boleh ada angka merah atau tidak lulus. Beberapa dosen yang mengampu Bahasa Indonesia di kampus-kampus mengungkapkan betapa lelahnya mereka dalam penyampaian materi Bahasa Indonesia.

Meski mahasiswa sudah belajar Bahasa Indonesia sejak kelas 1 SD, namun pemahaman dan kesadaran berbahasa masih belum memuaskan. Salah satu faktor penghambat adalah sikap menggampangkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Selain itu, peran media massa dengan narasumber yang kurang menghargai Bahasa Indonesia juga ikut mempengaruhi sikap mahasiswa.

Perlu pengayaan

Menurut Ismunandar, dengan posisi Bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional, maka perlu langkah nyata yang dapat dilakukan, yakni bagaimana meningkatkan minat warga dunia terhadap Bahasa Indonesia, apalagi di tengah maraknya konflik antarnegara.

Belum lama ini, KBRI Canberra di Australia meluncurkan program "Kawan Ngobrol" untuk mempromosikan Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA). Ada 16 sekolah dan dua perguruan tinggi di Canberra yang menawarkan kursus Bahasa Indonesia.

Selain itu, perlu upaya pengayaan kosakata Bahasa Indonesia secara terus menerus serta membangun kesenangan dan kesadaran berbahasa bagi masyarakat luas. Upaya pengayaan itu bisa dilakukan lewat jalur ilmiah dan bahasa daerah.

Berbagai peristiwa komunikasi dalam masyarakat, seperti debat presiden menjelang Pemilu 2024, juga telah melahirkan kosakata yang cukup menyegarkan. Ada joget gemoy, gimik, omon-omon, terkelok-kelok, mea-mea, biu-biu, hilirisasi digital, dan lainnya.

Data Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jumlah kosakata mencapai 120 ribu pada tahun 2023 dan diharapkan mencapai 200 ribu di tahun 2024.
Ribuan kosakata ini diharapkan dapat menjadi sarana komunikasi kebersamaan antarwarga, seiring dengan alasan UNESCO menjadikan Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi UNESCO, yakni sebagai pendorong perdamaian dunia.

Dalam konteks ini, maka peran dan fungsi Bahasa Indonesia agaknya tidak cukup hanya memperkaya kosakata, karena banyak sekali peristiwa komunikasi yang cukup meresahkan masyarakat karena faktor bahasa.

Tawuran antarwarga di beberapa kawasan di Jakarta dan daerah-daerah lainnya sampai sekarang masih sering terjadi. Berita kekerasan terhadap anak dan perempuan, ayah memperkosa anak kandung, ibu membunuh bayi, juga belum berhenti. Manakah bahasa media yang dapat mengubah perilaku sadis masyarakat? Sebuah penelitian mengungkapkan bahasa media justru memperparah kesadisan dalam masyarakat.

Ini artinya, bahasa tidak cukup hanya memperkaya kosakata, tapi juga perlu pengayaan makna di balik kosakata, karena setiap kata atau kalimat adalah tindak tutur dan berpengaruh pada perilaku pembaca. Dari sisi pragmatik, setiap kata atau kalimat mengandung tiga tindak tutur sekaligus, yakni lokusi, ilokusi dan perlokusi.

Artinya, setiap tuturan kata atau kalimat yang disampaikan pastilah memiliki pesan dan tujuan tertentu serta efek yang diharapkan. Di sinilah sering terjadi kesalahpahaman antara pembicara dan pendengar, yang dapat memicu tindak kekerasan.

Pengayaan kosakata dan makna di balik kata atau kalimat tuturan, langsung atau lewat media, seperti "kawan ngobrol" yang dilakukan kampus di Canberra perlu didukung tindakan nyata semua pihak, agar Bahasa Indonesia yang sudah diakui UNESCO sebagai bahasa resmi internasional dapat menjadi kebanggaan bagi Bangsa Indonesia.

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post