61% Australians Refuse to Recognize the Rights of Indigenous Peoples, Calling This Results Unreasonable
SYDNEY - Around 61 percent of Australians voted “No” in the historic referendum held on Saturday (14/10/2023).
The referendum in Australia asked voters whether to agree to amend the country's constitution to recognize the rights of Aboriginal tribals and Torres Strait Islander peoples through the creation of an Indigenous Peoples advisory body, “Voice to Parliament”.
This advisory body is known to be able to provide input to the Australian parliament on various issues related to Indigenous communities.
The results of the referendum showed that the majority of the people of Australia refused to recognize the rights of indigenous peoples or First Nations (First Peoples) in the constitution.
First Nations refers to a group of people whose ancestors existed in the Americas or Australia long before the arrival of Europeans.
Unlike other nations with similar histories, such as Canada and New Zealand, Australia has not officially recognized or reached agreements with its First Nations. The Aboriginal and Torres Strait Islander peoples account for 3.8 percent of Australia's total population of 26 million and have inhabited the country for 60,000 years.
However, the community is not listed in the Australian constitution and by most socio-economic measures, they are the most disadvantaged group.
Responding to the results of the referendum, leaders of Indigenous Communities of Australia later on Sunday (15/10/2023) called for a week of silence and reflection.
“This is a bitter irony. "For people who have only inhabited this continent for 235 years to refuse to recognize those who have lived on this land for 60 thousand years and longer is beyond reason," said the leaders of Indigenous Communities in a statement released to social media, quoted by Reuters.
Leaders said they would fly the Aboriginal and Torres Strait Islander flags at half-mast for the week and called on others to do the same.
Jade Ritchie, who campaigned for a "Yes" vote after the referendum results came in on Saturday, said the entire nation of Australia should mourn the lost opportunity.
“We once had the opportunity to make real change. This inequality, this disadvantage, this disenfranchisement of entire sections of our society…. we talk about this all the time and government after government tries to address this problem and here we are with a very moderate and fair proposal and a practical way forward, and it's not being accepted," Jade told Reuters.
Meanwhile, the AFP news agency reported, although the majority of Aboriginal Australians supported the referendum, some opposed it because they saw it as an indication that it would not bring about meaningful change.
Warren Mundine, an Indigenous Community member, who supported rejecting the referendum told ABC television on Sunday that he was grateful the referendum failed. Opposition campaigns often raise alarm about the role and effectiveness of the "Voice" council and encourage people to vote "no" if they are unsure.
The debate was also accompanied by disinformation that made it appear as if "Voice" would lead to land confiscation, create an apartheid system like in South Africa or that it was part of a United Nations plot.
Prime Minister Anthony Albanese is betting significant political capital on the Indigenous Peoples' voting rights referendum or the Voice. But his critics say this is his biggest mistake since he came to power in May 2022.
Opposition Leader Peter Dutton said the referendum was a vote “that Australia didn't need” and would only lead to division. One of the biggest reasons the referendum failed was the lack of bipartisan support. (kompas.com/tribun jatengprint)
61 Persen Warga Australia Tolak Akui Hak Masyarakat Adat, Disebut Hasil Ini di Luar Nalar
SYDNEY - Sekitar 61 persen warga Australia memilih “Tidak” dalam referendum bersejarah yang digelar pada Sabtu (14/10/2023).
Referendum di Australia tersebut menanyakan kepada pemilih apakah setuju mengubah konstitusi negara untuk mengakui hak suku Aborigin dan masyarakat Kepulauan Selat Torres melalui pembentukan badan penasihat Masyarakat Adat, “Suara untuk Parlemen”.
Badan penasihat itu diketahui bisa memberi masukan kepada parlemen Australia mengenai berbagai isu terkait komunitas Masyarakat Adat.
Hasil referendum menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Australia menolak untuk mengakui hak masyarakat adat atau Bangsa Pertama (First Peoples) dalam konstitusi.
Bangsa Pertama merujuk kepada kelompok masyarakat yang nenek-moyangnya sudah ada di Benua Amerika atau Australia jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa.
Tidak seperti bangsa-bangsa lain dengan sejarah yang sama, seperti Kanada dan Selandia Baru, Australia belum secara resmi mengakui atau mencapai kesepakatan dengan Bangsa Pertamanya. Masyarakat suku Aborigin dan Kepulauan Selat Torres menyumbang 3,8 persen dari total jumlah penduduk Australia yang mencapai 26 juta jiwa dan telah menghuni negara itu selama 60.000 tahun.
Namun, komunitas itu tidak tercantum di dalam konstitusi Australia dan berdasarkan sebagian besar ukuran sosial-ekonomi, mereka adalah kelompok yang paling dirugikan.
Menanggapi hasil referendum, para pemimpin Masyarakat Adat Australia kemudian pada Minggu (15/10/2023) menyerukan keheningan dan perenungan selama sepekan.
“Ini adalah ironi yang pahit. Orang-orang yang baru menghuni benua ini selama 235 tahun menolak mengakui mereka yang sudah tinggal di tanah ini selama 60 ribu tahun dan lebih lama adalah di luar nalar,” kata para pemimpin Masyarakat Adat dalam pernyataan yang dirilis ke media sosial, dikutip dari Reuters.
Para pemimpin mengatakan mereka akan mengibarkan bendera Aborigin dan Kepulauan Selat Torres setengah tiang untuk pekan ini dan menyerukan lainnya untuk melakukan hal yang sama.
Jade Ritchie, yang berkampanye untuk pilihan "Ya" setelah hasil referendum keluar pada Sabtu, mengatakan seluruh negara Austrakua harus berduka atas hilangnya kesempatan.
“Kita pernah punya kesempatan untuk melakukan perubahan nyata. Kesenjangan ini, ketidakberuntungan ini, pencabutan hak seluruh bagian masyarakat kita…. kita membicarakan hal ini sepanjang waktu dan pemerintah demi pemerintah mencoba untuk mengatasi masalah ini dan di sinilah kita dengan proposal yang sangat moderat dan adil serta cara praktis ke depan, dan itu tidak diterima,” kata Jade kepada Reuters.
Sementara itu, Kantor berita AFP melaporkan, meski mayoritas warga Aborigin Australia mendukung referendum, sebagian menentangnya karena dipandang sebagai indikasi yang tidak akan membawa perubahan berarti.
Warren Mundine, seorang warga Masyarakat Adat, yang mendukung penolakan referendum mengatakan kepada stasiun televisi ABC pada Minggu bahwa dia bersyukur referendumnya gagal. Kampanye dari oposisi kerap menakut-nakuti tentang peran dan keefektifan dewan the "Voice" dan mendorong orang-orang untuk memilih "tidak" jika mereka tidak yakin.
Perdebatan juga disertai dengan disinformasi yang menunjukkan seolah-olah "Voice" akan berujung pada perampasan lahan, menciptakan sistem apartheid seperti di Afrika Selatan atau bahwa bagian dari plot Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Perdana Menteri Anthony Albanese mempertaruhkan modal politik yang signifikan pada referendum hak suara Masyarakat Adat atau the Voice. Tetapi, para pengkritiknya mengatakan ini adalah kesalahan terbesarnya sejak ia berkuasa pada Mei 2022.
Pemimpin Oposisi Peter Dutton mengatakan referendum itu adalah pemungutan suara “yang tidak dibutuhkan oleh Australia” dan hanya mengakibatkan perpecahan. Salah satu alasan terbesar kegagalan referendum itu adalah tidak adanya dukungan bipartisan.
(kompas.com/tribun jateng cetak)
0 Comments