Revealed, Google Paid IDR 153 T to Get Rid of Bing-Yahoo Cs

Revealed, Google Paid IDR 153 T to Get Rid of Bing-Yahoo Cs


Photo: REUTERS/Dado Ruvic/Illustration

- The US government accused Google of paying US$10 billion (around Rp. 153 trillion) per year to Apple and other companies to maintain a monopoly in the browser market. 

When opening Safari on iPhone, users will see the Google search engine as the default service. 
The allegations emerged on the opening day of a landmark trial that is the largest antitrust case in the US in more than two decades. 
"This case is about the future of the internet and whether Google will face meaningful competition in the search space," Justice Department attorney Kenneth Dintzer said as the US government began filing suit against the tech giant. 

Over the course of 10 weeks and with dozens of witnesses called to court, Google will try to convince Judge Amit P. Mehta that the case filed by the Justice Department is baseless. 
"While Google has innovated and improved its search engine for decades, plaintiffs have escaped this inescapable truth," Google lawyer John Schmidtlein told the court, quoted from NDTV, Wednesday (13/9/2023). 
Held in a Washington courtroom, the case is the biggest technology case since Microsoft was targeted more than two decades ago for the dominance of its Windows operating system. 
"Even in Washington DC, I think we have the highest concentration of blue coats of anywhere here right now," Mehta said. 

The essence of the Googe case is that the government believes that the technology giant unfairly gained search engine dominance by making exclusivity contracts with device makers, mobile operators and other companies so that there was no chance for competitors to compete. 
Dintzer told Judge Mehta that Google pays $10 billion annually to Apple and others to secure the default status of its search engine on mobile phones and web browsers. This monopolistic move buries new companies, before they even have a chance to develop. 

Over the last decade, this created a "feedback loop" in which Google's dominance grew due to its monopoly access to user data that its competitors could not match. 
"Through this feedback loop, the wheel has been turning for over 12 years. This has always been in Google's favor," Dintzer said. 
This dominance has made Google's parent, Alphabet, one of the richest companies in the world. With search ads making up nearly 60 percent of the company's revenue, far less than revenue from other activities such as YouTube or Android phones. 
"We will track what Google did to maintain its monopoly. It's not about what it could or should have done, it's about what they did," Dintzer told the court. 

Court 'cannot intervene'

Google itself firmly rejected the US case, saying that its search engine was successful because of its quality and the huge investments made over the years. 
"This court cannot intervene in the marketplace and say 'Google you are not allowed to compete.' "That's anathema to US antitrust laws," said Google's Schmidtlein. 
Schmidt Lain insisted that testimony from executives at Apple and others would show that Google earned default browser status on the iPhone based on its merits. 
The biggest victims in this case have been rival search engines that have not gained meaningful market share for search or search advertising against Google, such as Microsoft's Bing and DuckDuckGo. 
Google remains the world's go-to search engine, controlling 90 percent of the market in the United States and worldwide, much of it from mobile usage on iPhones and phones running Google's Android. 
Mehta's decision is expected to come several months after about three months of hearings. 



Terungkap, Google Bayar Rp 153 T Singkirkan Bing-Yahoo Cs


Foto: REUTERS/Dado Ruvic/Illustration

 - Pemerintah AS menuduh Google membayar US$10 miliar (sekitar Rp 153 triliun) per tahun kepada Apple dan perusahaan lain untuk mempertahankan monopoli di pasar browser.

Ketika membuka Safari di iPhone, pengguna akan melihat mesin pencari Google sebagai layanan default. 
Tuduhan tersebut muncul pada hari pembukaan persidangan penting yang merupakan kasus antimonopoli terbesar di AS selama lebih dari dua dekade.

"Kasus ini berkaitan dengan masa depan internet dan apakah Google akan menghadapi persaingan yang berarti dalam bidang pencarian," kata pengacara Departemen Kehakiman Kenneth Dintzer ketika pemerintah AS mulai mengajukan tuntutan terhadap raksasa teknologi tersebut.

Selama 10 minggu dan dengan puluhan saksi yang dipanggil ke pengadilan, Google akan mencoba meyakinkan Hakim Amit P. Mehta bahwa kasus yang diajukan oleh Departemen Kehakiman tidak berdasar.

"Google selama beberapa dekade telah berinovasi dan meningkatkan mesin pencarinya, penggugat lolos dari kebenaran yang tak terhindarkan ini," kata pengacara Google John Schmidtlein di depan pengadilan, dikutip dari NDTV, Rabu (13/9/2023).
Diadakan di ruang sidang Washington, kasus ini merupakan perkara teknologi terbesar setelah Microsoft menjadi sasaran lebih dari dua dekade lalu karena dominasi sistem operasi Windows-nya.

"Bahkan di Washington DC, saya pikir kita memiliki konsentrasi jas biru tertinggi di mana pun di sini saat ini," ujar Mehta.

Inti dari kasus Googe ini karena pemerintah beranggapan bahwa raksasa teknologi ini secara tidak adil memperoleh dominasi mesin pencarian dengan membuat kontrak eksklusivitas dengan pembuat perangkat, operator seluler, dan perusahaan lain sehingga tidak ada peluang bagi pesaing untuk bersaing.
Dintzer mengatakan kepada Hakim Mehta bahwa Google membayar US$10 miliar setiap tahun kepada Apple dan pihak lain untuk mengamankan status default mesin pencarinya di ponsel dan browser web. Langkah monopoli ini mengubur perusahaan-perusahaan baru, bahkan sebelum mereka memiliki kesempatan untuk berkembang.

Selama dekade terakhir, hal ini menciptakan "putaran umpan balik" (feedback loop) yang mana dominasi Google semakin besar karena akses monopolinya terhadap data pengguna yang tidak dapat ditandingi oleh pesaingnya.

"Melalui putaran umpan balik ini, roda ini telah berputar selama lebih dari 12 tahun. Hal ini selalu menguntungkan Google," kata Dintzer.
Dominasi tersebut telah menjadikan induk Google, Alphabet, salah satu perusahaan terkaya di dunia. Dengan iklan penelusuran menghasilkan hampir 60 persen pendapatan perusahaan, jauh lebih kecil dibandingkan pendapatan dari aktivitas lain seperti YouTube atau ponsel Android.

"Kami akan melacak apa yang dilakukan Google untuk mempertahankan monopolinya. Ini bukan tentang apa yang bisa atau seharusnya dilakukan, ini tentang apa yang mereka lakukan," kata Dintzer di pengadilan.

Pengadilan 'tidak bisa melakukan intervensi'

Google sendiri dengan tegas menolak kasus AS dengan mengatakan bahwa mesin pencarinya berhasil karena kualitasnya dan investasi besar yang dilakukan selama bertahun-tahun.
"Pengadilan ini tidak bisa melakukan intervensi di pasar dan mengatakan 'Google Anda tidak diperbolehkan bersaing.' Itu merupakan kutukan terhadap undang-undang antimonopoli AS," kata Schmidtlein dari Google.
Schmidtlein bersikeras bahwa kesaksian dari para eksekutif di Apple dan pihak lainnya akan menunjukkan bahwa Google mendapatkan status default browser di iPhone berdasarkan manfaatnya.

Korban terbesar dalam kasus ini adalah mesin pencari saingannya yang belum mendapatkan pangsa pasar yang berarti untuk pencarian atau iklan pencarian melawan Google, seperti Microsoft Bing dan DuckDuckGo.
Google tetap menjadi mesin pencari andalan dunia, menguasai 90 persen pasar di Amerika Serikat dan seluruh dunia, sebagian besar berasal dari penggunaan seluler pada iPhone dan ponsel yang menjalankan Android milik Google.
Keputusan Mehta diperkirakan akan diambil beberapa bulan setelah sekitar tiga bulan sidang.

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post