BEWARE OF RIBA: EXCHANGE MONEY AHEAD OF LEIDAR
By: Ahmad Syahrin Thoriq
Ahead of Eid as it is today, apart from the tradition of going home which is starting to be super excited, there is another unique tradition that perhaps only Indonesian Muslims can do, namely exchanging new money or small change.
The change from the exchange will later be used for 'greetings' for visiting grandchildren, as well as for other small children who also expect to be splashed.
Exchanging small change if in large quantities certainly creates its own obstacles, if you want to exchange it at a store, sometimes the others are ahead of time. If you want to exchange it with a neighbor, it turns out that the neighbor also needs it
Well, this is where some people are keen to seize the opportunity. As we have seen, vendors for 'money exchange' services have appeared in malls, on the streets and in other crowded places.
Because it turns out that apart from being a source of additional income, this business is quite profitable and it is said that there is almost zero possibility of loss. How come ?
Of course. Because sold or not, the money remains in their hands and will not be damaged. They sold it profitably, even if they didn't sell it, that money can be spent too. Truly an 'anti-loss business'.
Apart from the tempting advantages of the sellers and convenience services for their consumers, what is the view of the Shari'a in seeing the practice of 'exchanging money' like this?
The law
It turns out that the practice of exchanging money for exaggerated terms is something that is prohibited in religion, because it includes Fadhl usury, one of the disgraceful usury and it is agreed that it is forbidden.[1]
What is Riba Fadl?
Riba Fadhl is an excess of the same type of ribawi property, when the two are exchanged. There are 6 ribawi objects referred to, as mentioned in the following hadith:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأْصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“(1) Gold for gold, (2) silver for silver, (3) wheat for barley, (4) barley for barley, (5) dates for dates, (6) salt for salt. All must be the same weight and cash. If the type is different, then sell it as you wish, but it must be in cash." (HR Muslim).
So what is meant by Fadhl's usury is the activity of exchanging 6 riba goods over one type, with differences in size due to differences in quality.
An example of exchanging two objects that have the same appearance but different sizes is that 3 grams of gold is directly exchanged for 2 grams of gold. 3 grams of gold is only 21 carats, while 2 grams of gold is 23 carats.
If the direct exchange of similar objects of different sizes is carried out, then this is what is called riba fadhl and the law is haraam.
Money includes Gold and silver
Jumhur has determined that his position of money includes ribawi objects such as gold. So the practice of taking advantage of money, either by exaggerating (fadhl) or by delaying (nasiah) includes usury which is forbidden.[2]
Denial of the existence of circles that justify it
However, there are some people who argue that the practice of exchanging money does not include usury which is forbidden in Islam, the reasons are:
1. Money is not usury
According to some circles, the prohibition of usury fadhl is only limited to the six types of objects mentioned in the hadith. Meanwhile, if what is exchanged is other than the six objects, then there is nothing wrong with the law even though the size is different because of the different quality. According to them, money is not one of the six ribawi items.
Rebuttal: This statement is very imprecise and contradicts the proposition. Because the hadith which mentions the six types of ribawi objects is not intended to limit, but to set an example.
As general evidence, the scholars have also made allusions to other objects such as rice, barley over dates and wheat.
And scholars generally view money as an object of ribawi because of its similarity to gold as a medium of exchange.[3]
2. Diqiyaskan to wages
They also said that this small change could be categorized into wakalah bil ajr (representation for a fee) or ijara (a job for a pay) contract.
With the assumption that the exchange service provider is a representative, and the buyer (exchange) is a muwakkil. So that there is permissible addition to the exchange of similar money which is positioned as a fee for representatives.
Rebuttal: Qiyas in this case is very inappropriate. Because in a wakalah contract, wages must be clear at the beginning of the contract, they cannot change. As for this context, the exchange service provider may sell to one customer with a profit of 10% of the intended amount, and to other customers with a profit greater or less than 10%. The law of supply and demand works in this case.
Not to mention seeing it from other sides, from the start there was no wakalah agreement at all between the two parties, the seller or the buyer.
The case is different if, for example, person A is assigned by the office to exchange 10 million coins at a certain bank, with a wage of 500 thousand rupiah. Of course this is permissible, because the representatives and deputies are clear, the amount of wages is also clear.
Is there a solution?
The solution to this problem is to go to Bank Indonesia, where a money exchange service is available and it doesn't charge a penny from it, 50 thousand is exchanged for 50 thousand.
In fact, to facilitate the process of exchanging coins, BI has collaborated with several banks and sent cars for money exchange booths at several points, but unfortunately they are only available in a few big cities.
Sometimes there are those who don't like the long queues that make them sore, is there another solution? If you are really lazy to queue, then we can ask someone to do it and then we pay a fee for the energy and time that is wasted having to queue. Well, it seems a win win solution.
Wallahu a'lam.
_______________
[1] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (5/360).
[2] Bidayatul Mujtahid (7/182)
[3] Syarhul Qawaid al Fiqhiyah, p. 174, al Fiqh al Islami waadilatuhu (5/373).
AWAS RIBA : TUKAR UANG MENJELANG LEBARAN
Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Menjelang lebaran seperti sekarang ini, di samping tradisi mudik yang mulai super heboh, ada lagi tradisi unik yang mungkin hanya dilakukan oleh umat Islam Indonesia, yaitu tukar uang baru atau uang receh.
Uang receh hasil penukaran itu nantinya akan digunakan untuk ‘salam tempel’ anak cucu yang berkunjung, juga untuk anak-anak kecil lainnya yang turut ikut ngarep kecipratan.
Menukar uang receh jika dalam jumlah yang banyak tentu menimbulkan kendala tersendiri, kalau mau ditukar ke toko, kadang sudah keduluan yang lain. Mau ditukar ke tetangga, ternyata tetangga juga sama membutuhkannya
Nah, disinilah kemudian sebagian kalangan ada yang jeli menangkap peluang, seperti yang kita saksikan, bermunculan penjaja layanan ‘tukar uang’ di mal, jalanan dan di tempat-tempat keramaian lainnya.
Karena ternyata selain sebagai sumber pemasukan tambahan, bisnis ini lumayan menguntungkan dan hampir dikatakan zero kemungkinan ruginya. Kok bisa ?
Tentu saja. Karena terjual atau tidak, uang tersebut tetap ada di tangan mereka dan tidak akan rusak. Terjual mereka untung, tidak terjual pun, uang tersebut dapat dibelanjakan juga. Benar-benar ‘bisnis anti rugi’.
Terlepas dari keuntungan yang menggiurkan penjualnya dan layanan kemudahan bagi para konsumennya, bagaimanakah pandangan syariat dalam melihat praktek ‘tukar uang’ seperti ini ?
Hukumnya
Ternyata praktek tukar menukar uang dengan dilebihkan ini perkara yang dilarang dalam agama, karena termasuk riba Fadhl, salah satu riba yang tercela dan disepakati keharamannya.[1]
Apa itu Riba Fadhl ?
Riba Fadhl adalah kelebihan pada jenis yang sama dari harta ribawi, ketika keduanya dipertukarkan. Benda ribawi yang dimaksud ada 6, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits berikut ini :
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأْصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“(1) Emas dengan emas, (2) perak dengan perak, (3) gandum dengan gandum, (4) barley dengan barley, (5) kurma dengan kurma, (6) garam dengan garam. Semua harus sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai.”(HR Muslim).
Jadi yang dimaksud riba Fadhl adalah aktivitas tukar menukar 6 barang riba di atas yang satu jenis, dengan perbedaan ukurannya akibat perbedaan kualitas.
Contoh dari pertukaran dua benda yang wujudnya sama tapi beda ukuran adalah emas seberat 3 gram ditukar dengan emas seberat 2 gram secara langsung. Emas yang 3 gram kualitasnya cuma 21 karat, sedangkan emas yang 2 gram kualitasnya 23 karat.
Kalau pertukaran langsung benda sejenis beda ukuran ini dilakukan, maka inilah yang disebut dengan riba fadhl dan hukumnya haram.
Uang termasuk Emas dan perak
Jumhur telah menetapkan bahwa uang kedudukannya termasuk benda ribawi seperti halnya emas. Sehingga praktek mengambil manfaat dari uang, baik dengan melebihkan (fadhl) atau dengan adanya penundaan (nasiah) termasuk riba yang diharamkan.[2]
Bantahan atas adanya kalangan yang menghalalkan
Namun ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa praktek tukar menukar uang tersebut tidak termasuk riba yang diharamkan dalam islam, alasannya :
1. Uang bukan benda ribawi
Menurut sebagian kalangan keharaman riba fadhl itu hanya terbatas pada enam jenis benda yang disebutkan dalam hadits. Sedangkan bila yang dipertukarkan selain keenam benda itu, maka hukumnya tidak mengapa walaupun berbeda ukuran karena beda kualitas. Menurut mereka uang bukanlah salah satu dari ke-enam barang ribawi.
Bantahan : Pernyataan ini sangat tidak tepat dan bertentangan dengan dalil. Sebab hadits yang menyebutkan keenam jenis benda ribawi tujuannya bukan untuk membatasi, tetapi untuk membuatkan contoh saja.
Sebagai bukti umumnya para ulama juga telah melakukan kias terhadap benda-benda lain seperti beras, jewawut atas kurma dan gandum.
Dan ulama umumnya memandang uang termasuk benda ribawi karena kesamaan ilatnya dengan emas sebagai alat tukar.[3]
2.Diqiyaskan ke pengupahan
Mereka juga mengatakan bahwa tukar uang receh ini dapat dikategorikan ke dalam akad wakalah bil ajr (perwakilan dengan upah) atau ijarah (suatu pekerjaan dengan upah).
Dengan asumsi, bahwa si penawar jasa penukaran adalah wakil, dan si pembeli (penukar) adalah muwakkil. Sehingga dibolehkan ada tambahan pada penukaran uang sejenis yg diposisikan sebagai upah kepada wakil.
Bantahan : Qiyas dalam hal ini sangat tidak tepat. Karena dalam akad wakalah, upah haruslah jelas di awal akad, tidak boleh berubah. Adapun dalam konteks ini, si penawar jasa penukaran bisa saja menjual kepada satu pelanggan dengan keuntungan 10% dari jumlah yg dimaksud, dan kepada pelanggan lainnya dengan keuntungan yang lebih besar atau lebih kecil dari 10%. Hukum supply and demand bekerja dalam hal ini.
Belum lagi dilihat dari sisi- sisi yang lain, dari awal tidak ada sama sekali perjanjian akad wakalah antar dua belah pihak, penjual maupun pembeli.
Beda kasusnya jika misalnya si A ditugaskan oleh kantor untuk menukarkan uang receh sejumlah 10 juta kepada bank tertentu, dengan upah 500 ribu rupiah. Tentu hal ini dibolehkan, karena wakil dan muwakkil nya jelas, jumlah upahnya juga jelas.
Adakah solusinya ?
Solusi untuk permasalahan ini adalah dengan mendatangi Bank Indonesia, disana layanan tukar menukar uang tersedia dan tidak memungut biaya sepeserpun darinya, 50 ribu ditukar dengan 50 ribu.
Bahkan untuk memudahkan proses tukar uang receh ini, BI telah bekerjasama dengan beberapa bank dan mengirimkan mobil-mobil stand penukaran uang di beberapa titik, hanya sayangnya baru ada dibeberapa kota besar.
Terkadang ada yang tidak betah dengan antrinya yang panjang bikin pegel, ada solusi lain ? Jika memang malas mengantri maka kita bisa menyuruh seseorang untuk mengerjakannya lalu kita beri biaya uang lelah atas tenaga dan waktunya yang terbuang karena harus antri. Nah, ini solusi win win kelihatannya.
Wallahu a’lam.
_______________
[1] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (5/360).
[2] Bidayatul Mujtahid (7/182)
[3] Syarhul Qawaid al Fiqhiyah, hal. 174, al Fiqh al Islami wa adillatuhu (5/373).
0 Comments