Wisata melihat bangkai kapal Titanic dari dekat seharga Rp3,8 miliar
SUMBER GAMBAR, GETTY IMAGES
Keterangan gambar, (Ilustrasi)
Sejumlah petulang membayar untuk ikut serta dalam “misi spesialis” demi berkesempatan menjelajahi kapal Titanic dari dekat.
Bagi banyak orang, melihat kapal karam yang paling terkenal di dunia adalah sebuah mimpi. Para petualang yang disebut "spesialis misi" rela membayar miliaran rupiah demi berkesempatan menjelajahi Titanic dari dekat.
Di wilayah perairan Samudra Atlantik Utara yang berombak, hampir 650 kilometer dari St Johns, Newfoundland, Kanada, sebuah kapal industri besar terombang-ambing dari sisi ke sisi.
Di atas kapal, Stockton Rush, CEO Ocean Gate, mengungkap visinya di masa depan: “Akan ada masanya ketika orang-orang pergi ke luar angkasa dengan biaya lebih murah dan menjadi sangat rutin. Saya pikir hal yang sama juga akan terjadi di bawah laut.”
Rush berharap perusahaannya, Ocean Gate— yang fokus pada peningkatan akses ke laut— akan mengeksplorasi laut dalam seperti halnya sedang diupayakan oleh Elon Musk, Richard Branson, dan Jeff Bezos untuk perjalanan luar angkasa.
Eksplorasi ini memungkinkan siapa pun yang memiliki cukup uang untuk menjelajah ke dunia baru, meski tanpa pelatihan khusus.
Sepintas, lokasi Rush di Atlantik Utara tampak biasa-biasa saja. Namun, di sinilah salah satu peristiwa paling terkenal dan tragis dalam sejarah terjadi.
Di titik itu, di kedalaman 3.800 meter di bawah permukaan laut, terdapat bangkai kapal Titanic yang tenggelam pada April 1912 setelah menabrak gunung es pada pelayaran perdananya.
Bagi Rush, yang mencoba membuat penjelajahan laut secara massal dan komersil, situs kapal karam yang paling terkenal di dunia “wajib diselami”.
“Saya membaca sebuah artikel yang mengatakan ada tiga kata dalam bahasa Inggris yang dikenal di seluruh dunia. Ketiga kata itu adalah Coca-Cola, God, dan Titanic.”
Kapal Titanic tenggelam pada April 1912 setelah menabrak gunung es pada pelayaran perdananya.
Namun untuk mewujudkan mimpinya tentang Titanic, Rush harus membuat kapal selam jenis baru yang terbuat dari bahan ringan, agar bisa membawa hingga lima orang turun sampai ke titik kedalaman di mana bangkai Titanic berada.
Banyak yang mengira hal itu tidak mungkin dilakukan.
Namun, sekarang Rush berada di lokasi— setelah berhasil mencapai bangkai kapal itu dengan kapal selam pada tahun lalu—bersama banyak orang, termasuk awak kapal, staf Ocean Gate, ilmuwan, serta sekelompok kecil petualang “spesialis misi” yang masing-masing membayar US$250 ribu (Rp3,8 miliar), demi melihat Titanic dari dekat.
Selama di sana, mereka juga berkesempatan menjadi peneliti warga, yang membantu mengumpulkan gambar dan video keanekaragaman hayati di laut dalam.
Para petualang yang terlibat dalam misi ini adalah bankir Renata Rojas, pengusaha Oisin Fanning, produser Jaden Pan serta ahli kelautan Steve Ross, dan nahkoda kapal selam Scott Griffith.
“Saya bukan jutawan,” kata Rojas.
”Saya menabung dalam waktu yang sangat lama. Saya mengorbankan banyak hal dalam hidup saya supaya bisa menjangkau Titanic."
"Saya tidak punya mobil, saya belum menikah, belum punya anak. Semua keputusan itu saya buat karena saya ingin pergi melihat Titanic.”
Untuk mencapai bangkai kapal Titanic, diperlukan kapal selam yang terbuat dari bahan yang ringan.
Sementara bagi Ross, penyelaman ini menawarkan kesempatan langka untuk mempelajari ekosistem di laut dalam, dengan cara mengambil sampel air di sekitar lokasi bangkai kapal dan merekam keanekaragaman hayati menggunakan kameranya.
“Ada semacam perlombaan untuk memahami laut dalam, yang merupakan lingkungan paling besar di lautan, tapi paling kurang dieksplorasi. Perubahan di lautan memiliki dampak besar bagi seluruh dunia,” tutur Ross.
Saat kapal selam berpenumpang itu turun selama lebih dari dua jam ke dasar lautan, dari dalamnya, Ross mengamati keanekaragaman hayati yang ada melalui jendela kapal.
“Dalam perjalanan turun, kami melihat spesies mesopelagis yang menjadi bagian migrasi terbesar di Bumi."
"Setiap malam, komunitas besar dari spesies ini bermigrasi ke permukaan, lalu setiap pagi mereka kembali ke kedalaman 500 hingga 1.000 meter. Banyak di antaranya memiliki bioluminensi, jadi Anda bisa melihat pancaran cahaya di mana-mana.”
Ketika mencapai dasar laut, kapal selam itu mendarat di puing seluas 15 meter persegi, yang mengelilingi haluan dan buritan Titanic yang telah terpisah.
“Seketika kami berlima mengheningkan cipta,“ kata Pan.
”Hal pertama yang saya lihat adalah serpihan-serpihan batu bara. Itulah momen yang menghubungkan saya dengan para korban Titanic."
"Fakta bahwa orang-orang membawa batu bara itu ke atas kapal dan ketika tenggelam semuanya tumpah begitu saja.”
Dari sisi kapal selam yang lain, Pan kemudian mendengar nahkoda Griffith berkata, “Astaga, kita punya masalah.”
“Ketika saya mendorong ke depan, salah satu kendalinya justru mendorong ke belakang,” jelas Griffith.
“Sekarang yang bisa saya lakukan hanyalah 360 (berputar).”
Di atas kapal di permukaan laut, Rush mempertimbangkan untuk memetakan ulang alat kendali Griffith.
“Ini tidak akan mudah,” kata Rush kepada rekan-rekannya sesama kru pendukung.
“Saya pikir kita tidak akan berhasil!” kata Rojas.
“Kami berada 300 meter dari Titanic dan yang bisa kami lakukan hanya berputar-putar.”
Solusi yang didapat Rush sangat sederhana: “Sampaikan kepadanya untuk menahan alat kendali dengan cara lain,” tutur Rush.
Setelah mengetahui bahwa belok kiri pada alat kendali ternyata menggerakkan kapal selam ke depan, dia menyimpulkan bahwa memutar alat kendali 90 derajat searah jarum jam akan memungkinkan kapal selam untuk maju.
Setelah melewati ubin warna-warni, piring-piring, hingga sebuah wastafel di antara puing-puing itu, mereka mencapai tujuan mereka: haluan Titanic yang menjadi ikon romansa antara tokoh fiksi Jack dan Rose dalam film Titanic.
Mereka berswafoto. Setelah itu, sisa waktu di dasar laut dihabiskan untuk menjelajahi haluan dan puing-puing Titanic sebelum naik ke permukaan.
Butuh waktu beberapa bulan untuk menganalisis data yang mereka kumpulkan dari video, tetapi misi itu terasa memuaskan bagi mereka.
Begitu keluar dari kapal selam itu dan kembali ke kapal laut, Rojas menyeka air matanya.
“Dulu saya merasa perlu melakukan ini untuk melengkapi hidup saya. Sekarang saya merasa lengkap.”
0 Comments