KASUS VIDEO MESUM DAN DILEMA EFEK JERA
Beberapa minggu ini dunia pendidikan di Indonesia dikagetkan dengan munculnya video mesum dari siswa-siswi yang beradegan vulgar di sebuah ruang kelas. Dalam video itu juga tampak mereka tidak sendirian, tapi disaksikan beberapa teman-teman perempuan yang merekam gambar mereka.
Kasus video mesum yang melibatkan pelajar memang bukan yang pertama kali ini terjadi, sebelumnya ada banyak kasus-kasus serupa, yang membuat hal ini menjadi heboh adalah karena dilakukan di sebuah ruangan kelas, yang notabene adalah wilayah dan tanggung jawab pihak sekolah.
Banyak pihak mempertanyakan, bagaimana pengawasan sekolah terhadap para siswanya, sehingga hal ini bisa terjadi di lingkungan sekolah? apakah tidak ada penjaga sekolah?
Dari berita yang saya ikuti di media cetak dan elektronik, polisi mengambil alih penuh proses penyidikan karena hal ini termasuk tindakan pelanggaran undang-undang.Lalu proses penyidikan mengungkap fakta bahwa, itu adalah video ke 3 yang dibuat dan pelaku bukanlah anak-anak bermasalah dalam keseharian di sekolah.
Dengan meluasnya kasus video ini, banyak pihak yang meminta agar para pelaku diberi hukuman agar menjadi efek jera. Ini yang saya pikir akan sedikit berat, dari rata-rata kasus yang sama berakhir dengan pihak sekolah yang "memulangkan" siswa ke orangtuanya, dalam arti lain, dikeluarkan dari sekolah.
Hal itu seringkali dipandang sebagai satu-satunya solusi untuk kasus asusila semacam ini.
Namun bagi saya, itu malah menjadi sebuah masalah baru. Pihak sekolah seperti lepas tangan dan mengembalikan semuanya pada orangtua dan siswa. Saya bayangkan, siswa-siswa yang dikeluarkan dari sekolah ini kecil kemungkinan akan diterima di sekolah lain atau kembali bersekolah. Lalu bagaimana nasib mereka bila putus sekolah?
Dan bila sanksi dikeluarkan dari sekolah adalah "efek jera" yang pas, mengapa kasus yang sama terus menerus berulang?
Saya merasa, perlu ada pendekatan baru soal kasus-kasus perbuatan asusila pada remaja kita. Bukan sekedar pemeriksaan polisi, mengkriminalkan para pelaku atau dikeluarkan dari sekolah.
Ini tidak akan menyelesaikan masalah, karena hanya "memotong", bukan "mencabut" akar masalah.
Harusnya ada solusi yang lebih, misalnya dengan memberikan sex education yang baik yang mencakup aspek psikologis remaja.
Pendidikan seks di tingkat umur remaja seringkali hanya berkisar di pelajaran reproduksi, banyak yang melupakan aspek perubahan psikologi remaja dan hubungan mereka dengan lawan jenis. Pendidikan seks yang ada sekarang juga melupakan pengaruh dari pornografi terhadap kehidupan remaja, bahwa mereka bukan hanya bisa terjebak sebagai "pengguna" tapi juga "pelaku".
Bila dicermati, sebagain besar pelajar pelaku video asusila beralasan mereka hanya ingin "mencoba-coba", atau "have fun". ini alasan yang khas remaja.
Remaja adalah usia yang unik, usia labil, dimana mereka menjadi pribadi yang ingin bebas, tidak ingin lagi dianggap sebagai anak-anak yang harus patuh pada peraturan, lebih ekspresif, tapi di sisi lain, mereka masih perlu banyak bimbingan karena masih belum sepenuhnya mengerti tentang konsekuensi banyak hal.
Saya sungguh-sungguh
berharap, ada keterlibatan yang benar-benar serius untuk masalah ini dari semua pihak. Baik orangtua, sekolah, maupun masyarakat luas. Saya merasa aparat kepolisian adalah pihak terakhir yang harus terlibat dalam masalah ini.
Beberapa minggu ini dunia pendidikan di Indonesia dikagetkan dengan munculnya video mesum dari siswa-siswi yang beradegan vulgar di sebuah ruang kelas. Dalam video itu juga tampak mereka tidak sendirian, tapi disaksikan beberapa teman-teman perempuan yang merekam gambar mereka.
Kasus video mesum yang melibatkan pelajar memang bukan yang pertama kali ini terjadi, sebelumnya ada banyak kasus-kasus serupa, yang membuat hal ini menjadi heboh adalah karena dilakukan di sebuah ruangan kelas, yang notabene adalah wilayah dan tanggung jawab pihak sekolah.
Banyak pihak mempertanyakan,
Dari berita yang saya ikuti di media cetak dan elektronik, polisi mengambil alih penuh proses penyidikan karena hal ini termasuk tindakan pelanggaran undang-undang.L
Dengan meluasnya kasus video ini, banyak pihak yang meminta agar para pelaku diberi hukuman agar menjadi efek jera. Ini yang saya pikir akan sedikit berat, dari rata-rata kasus yang sama berakhir dengan pihak sekolah yang "memulangkan" siswa ke orangtuanya, dalam arti lain, dikeluarkan dari sekolah.
Hal itu seringkali dipandang sebagai satu-satunya solusi untuk kasus asusila semacam ini.
Namun bagi saya, itu malah menjadi sebuah masalah baru. Pihak sekolah seperti lepas tangan dan mengembalikan semuanya pada orangtua dan siswa. Saya bayangkan, siswa-siswa yang dikeluarkan dari sekolah ini kecil kemungkinan akan diterima di sekolah lain atau kembali bersekolah. Lalu bagaimana nasib mereka bila putus sekolah?
Dan bila sanksi dikeluarkan dari sekolah adalah "efek jera" yang pas, mengapa kasus yang sama terus menerus berulang?
Saya merasa, perlu ada pendekatan baru soal kasus-kasus perbuatan asusila pada remaja kita. Bukan sekedar pemeriksaan polisi, mengkriminalkan
Ini tidak akan menyelesaikan masalah, karena hanya "memotong", bukan "mencabut" akar masalah.
Harusnya ada solusi yang lebih, misalnya dengan memberikan sex education yang baik yang mencakup aspek psikologis remaja.
Pendidikan seks di tingkat umur remaja seringkali hanya berkisar di pelajaran reproduksi, banyak yang melupakan aspek perubahan psikologi remaja dan hubungan mereka dengan lawan jenis. Pendidikan seks yang ada sekarang juga melupakan pengaruh dari pornografi terhadap kehidupan remaja, bahwa mereka bukan hanya bisa terjebak sebagai "pengguna" tapi juga "pelaku".
Bila dicermati, sebagain besar pelajar pelaku video asusila beralasan mereka hanya ingin "mencoba-coba",
Remaja adalah usia yang unik, usia labil, dimana mereka menjadi pribadi yang ingin bebas, tidak ingin lagi dianggap sebagai anak-anak yang harus patuh pada peraturan, lebih ekspresif, tapi di sisi lain, mereka masih perlu banyak bimbingan karena masih belum sepenuhnya mengerti tentang konsekuensi banyak hal.
Saya sungguh-sungguh